Dari kejadian seperti itu, cukup memperlihatkan perlakuan masyarakat pada media mainstream dan media sosial itu berbeda. Masih adanya haus informasi dan kepercayaan publik atas sebuah media mainstream. Pentingnya media mainstream untuk beradaptasi terhadap perubahan teknologi agar dapat terus hidup berdampingan dengan teknologi dan masyarakat digital.
Tantangan Profesi Wartawan
Ada istilah jurnalisme konstruktif, artinya jurnalisme yang kontennya lebih memberikan solusi, tidak sekedar mengkritisi dan yang dapat membuat berita semacam itu adalah seorang wartawan utama. Nyatanya, masih terdapat wartawan utama yang ketika membuat sebuah berita, hanya berhenti sampai 'mengkritisi', tanpa solusi.Â
Padahal menurut Sandy, ketika kami membuat berita baru sampai mengkritisi tanpa solusi artinya kami belum selesai membuat berita. Sekarang di kalangan wartawan utama, sedang membicarakan dan mematangkan agenda setting tersebut di medianya masing-masing agar mau dan mampu membuat berita sampai memberikan solusi.
Masyakarat kondisi hari ini tidak terlepas dari peran media, rendahnya kepercayaan pemerintah pun tidak terlepas dari peran media, khususnya media mainstream. Dan itu diakui Sandy menjadi 'dosa' wartawan utama, upaya membangun jurnalisme konstruktif merupakan jalan untuk memulihkan 'dosa'. Yang dilakukan tidak lantas menanggalkan kritik, tetap kritiknya ada tetapi ada solusi atas setiap kritik.
Rekrutmen wartawan atau jurnalis saat ini berbeda dengan 10-20 tahun ke belakang. Dulu, ketika melamar si calon pelamar sudah mempersiapkan dirinya untuk menjadi wartawan yang akan mencari, menuliskan dan kemudian menyetorkan berita ke redaksi untuk dipublikasikan.Â
Hari ini, seseorang yang ingin jadi jurnalis bukan hanya mencari, menuliskan dan menyetorkan berita, tetapi seorang yang bisa membuat foto dan video, mengedit foto dan video, bukan lagi sebagai pembuat naskah saja tapi bisa jadi seorang editor video, kompilasikan video, dan lebih banyak pekerjaan lainnya yang harus dilakukan sehingga jurnalis hari ini sulit untuk fokus pada depth-reporting, feature yang mendalam karena juga ia dikejar target oleh waktu dan jumlah berita yang harus dihasilkan tiap harinya dari perusahaanya.
Sandy membandingkan, dulu 1 liputan bisa menjadi 2 berita. Kalau hari ini, seorang jurnalis harus membuat 7-10 berita per hari. Memang naskah tidak harus panjang, angle-nya yang harus lebih banyak. Terkait target berita ini disampaikan kepada pelamar di Republika, dari 100 pelamar yang menyanggupi di awal sekitar 20 orang.Â
Dari 20 orang tersebut yang bisa bertahan paling tidak sampai 25%, sisanya angkat angkat (mengundurkan diri). Oleh karena lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, dampaknya seorang jurnalis seperti kehilangan 'ruh' atas pekerjaannya. Yang penting target jumlah berita banyak dan terpenuhi tanpa dipastikan semua berita yang dihasilkan secara mendalam.
Ternyata, seorang jurnalis yang katakanlah berkualitas, belum cukup untuk membuat seseorang itu bertahan dalam profesinya. Ini dikarenakan ketika mereka membuat karyanya, disitu ada intervensi kepentingan bisnis industri media sehingga karya jurnalis itu tidak tersampaikan ke masyarakat dan mereka menjadi putus asa atau frustasi dan bertanya "mengapa saya menjadi jurnalis?". Seorang jurnalis harus membawa perubahan, salah satunya melalui kritisi.
Untuk membuat seorang bertahan di perusahaan media, menurut Sandy jelas faktor pendapatan yang memuaskan. Tapi untuk bertahan sebagai seorang jurnalisnya, itu artinya sudah terbangun ideologi profesinya, ada kecintaan dan ada candu atas profesinya. Ketika didapati tidak puas pada suatu perusahaan, para jurnalis tetap akan berkarya sebagai jurnalis dengan cara membuat portal berita sendiri dan saat ini sangat mudah.