Timbullah perkembangan ironis. Kelompok anti Jokowi menggunakan dalih-dalih rasis dan anti Kristen sebagai dasar kecamannya. Â Di lain pihak mereka kerap mencanangkan dukungannya terhadap Pancasila, pluralisme dan NKRI. Â Perkembangan ini mirip dengan apa yang berkembang di zaman Demokrasi Terpimpin. Semua tokoh politik dan pejabat pemerintah mencanangkan kesetiaan terhadap konsepsi persatuan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Akan tetapi begitu perubahan arus politik terjadi pada akhir 1965, banyak tokoh tersebut turut aktif dalam mengganyang kekuatan kiri, bahkan turut berjasa dalam menjatuhkan Presiden Soekarno.
Undang-Undang anti diskriminasi Ras dan Etnis tersebut di atas seharusnya melindungi posisi hukum Tionghoa dan etnis lainnya, ternyata tidak bergigi menghadapi berkembangnya rasisme di lapangan.
Slogan-slogan rasis yang berkembang dalam Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 yang akhirnya mengalahkan A Hok dalam pemilihan Gubernur Jakarta dan memojokkan Jokowi, tidak membuahkan sanksi hukum apapun. Kelompok anti Jokowi dengan bebas mencanangkan rasisme dan sikap diskriminatif terhadap Tionghoa.
Generasi muda Tionghoa di  masa kini sudah jarang mempermasalahkan keberadaannya sebagai komunitas Tionghoa.  Istilah Suku Tionghoa sudah membudaya. Banyak yang tidak lagi mengetahui asal usul perjuangan diterimanya komunitas Tionghoa sebagai salah satu suku bangsa Indonesia.
Berkembangnya arus kuat yang bersandar atas rasisme dan sikap anti Tionghoa merupakan terror kuat yang mungkin akan mengurangi animo Tionghoa untuk terjun dalam berbagai kegiatan politik.
Sikap memilih jalan selamat yang a-politis dan apatis dikhawatirkan kembali berkembang menjelang Pemilu 2024. Akan tetapi fenomena ini bukan hanya untuk Tionghoa saja. Teror kekerasan kelompok yang mendukung intoleransi memang ditujukan ke semua golongan, untuk memperkecil dukungan terhadap Jokowi.
Masalah rasisme dan posisi hukum di Indonesia kini menjadi persoalan yang tidak sepenting apa yang dihadapi pemerintahan Jokowi.Â
Ini merupakan masalah nasional yang berkaitan dengan radikalisme Islam.  Pesantren-pesantren, sekolah-sekolah dan  kampus-kampus Universitas telah menampung keberadaan kelompok intoleran yang menginginkan Indonesia berubah menjadi sebuah negara Teokrasi dengan Islam sebagai dasarnya.  Arus yang menguat ini menginginkan Jokowi mundur sebelum Pemilu 2024.  Kalau arus ini gagal menjatuhkan Jokowi sebelum 2024, mereka menggalang kekuatan untuk memenangkan Pemilu 2024 dengan calon-calon yang bisa membawa aspirasinya.
Bilamana mereka menang, bukan saja Tionghoa kembali menghadapi tekanan dalam berbagai bidang, tetapi Indonesia secara keseluruhan bisa mengalami kekacauan dan kehancuran.
Masalah Tionghoa merupakan masalah nasional. Dengan demikian upaya menyelesaikan masalah Tionghoa harus berdasarkan penyelesaian masalah nasional. Kegiatan Tionghoa dalam politik hendaknya dipusatkan untuk melawan arus intoleran ini. Dan untuk ini, Tionghoa harus mengintegrasikan dirinya dengan kekuatan politik yang mendukung multikulturalisme -- Bhinneka Tunggal Ika dan menentang pembentukan Indonesia dengan dasar Teokrasi Islam.
Kesimpulan