Pemerintah pun mengajak mereka untuk turut memformulasikan berbagai kebijakan asimilasi yang menjadi dasar politik kehadiran LPKB. Secara bertahap, keluarlah berbagai kebijakan rasis yang memojokkan Tionghoa.
Keluarlah berbagai peraturan rasis, di antaranya:
Tionghoa tidak boleh menggunakan bahasa Tionghoa. Huruf-huruf Tionghoa dilarang dipergunakan, baik dalam bentuk bacaan maupun dalam papan nama usaha. Buku2 bacaan yang mengandung huruf Tionghoa tidak boleh beredar dan masuk ke Indonesia. Dalam kartu imigrasi, materi yang mengandung huruf Tionghoa disamakan dengan narkoba.
Melakukan ibadah Tionghoa di depan umum dilarang. Pertunjukan Liang Liong dan barongsai di depan umum dilarang. Â Perayaan imlek di depan umum dilarang pula.
Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama Tionghoanya dengan nama-nama non Tionghoa. Dalam berbagai hal, anjuran ini merupakan paksaan. Â Ada ancaman dari pihak penguasa bahwa pedagang yang tetaop mempertahankan namanya tidak bisa berdagang.
Jumlah Tionghoa yang bisa masuk universitas negeri dibatasi. Demikian juga terjadi pembatasan masuk ke berbagai angkatan militer.
Untuk membangkitkan inferiority complex dalam benak Tionghoa, Istilah Tionghoa dan Tiongkok secara resmi diubah menjadi Cina -- istilah yang mengandung konotasi penghinaan terhadap Tionghoa di Indonesia.
Banyak tokoh yang bergabung di LPKB -pun terkejut dengan seberapa jauh pemerintah menerapkan paham asimilasi ini. Akan tetapi terlambat. Kebijakan-kebijakan ini berlangsung selama 32 tahun tanpa perlawanan politik. Â Pada akhirnya tokoh-tokoh LPKB-pun, menjelang akhir 70-an, Â didorong kepinggir oleh Soeharto.
Pemerintahan Soeharto mengembangkan praktek pemerintahan kolonial. Di zaman penjajahan Belanda, timbul kelas pedagang-pedagang besar dengan pangkat militer tituler Letnan, kapten dan mayor. Â Pada umumnya mereka merupakan tuan-tuan tanah perkebunan. Â Di zaman pemerintahan Soeharto dilahirkan konglomerat-konglomerat Tionghoa. Mereka digunakan untuk menjalankan monopoli-monopoli yang secara kongkret dikontrol oleh para tokoh pemerintahan, terutama Soeharto dan kerabatnya, dan para jendral dan para tokoh tokoh politik. Â Yang menjalankan operasi dagang adalah para konglomerat Tionghoa.
Pada waktu yang bersamaan para tokoh pemerintahan tidak segan menggambarkan bahwa kemiskinan di Indonesia atau berbagai krisis ekonomi Indonesia terjadi karena adanya konglomerat Tionghoa yang digambarkan serakah dan tidak setia terhadap pembangunan Indonesia. Tionghoa digambarkan mereka sebagai kelompok yang menguasai ekonomi Indonesia. Ini merupakan hoaks. Tionghoa tidak menguasai ekonomi Indonesia. Â Ekonomi Indonesia didominasi oleh perusahaan multi nasional dan BUMN. Mereka tidak segan mengarahkan kemarahan rakyat ke arah Tionghoa sehingga komunitas ini selalu menjadi sasaran ledakan rasisme. Yang terbesar terjadi pada Mei 1998.
Ironisnya, peristiwa rasis Mei 98-lah yang menghancurkan pemerintahan Soeharto. Ia meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998.