Dimulai dengan amendemen UUD 45 pasal 6 yang menghilangkan kata "asli" dalam pemilihan presiden RI. Hilangnya kata "asli" memungkinkan seorang Tionghoa yang sudah menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya menjadi Presiden RI. Â Pada 2016, fraksi PPP di DPR menginginkan frasa "asli" dikembalikan. Akan tetapi tuntutan ini tidak membuahkan dukungan.
Pada 2006 Murdaya Poo sebagai anggota PDIP di Parlemen mengambil inisatif untuk dikeluarkannyta RUU kewarganegaraan Indonesia baru. Konsepsinya disusun oleh beberapa tokoh Tionghoa lainnya dan dibawa ke DPR.
Keluarlah UU Kewarganegaraan baru pada 2006 yang merupakan perbaikan dari UU Kewargangeraan 1958. Ia menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan Indonesia bisa secara independen menjadi warga negara Indonesia walaupun bersuamikan seorang asing. Anak-anak yang memiliki dwi-kewarganegaraan karena kawin campuran diberi hak penuh untuk memilih kewarganegaraan Indonesia ketika menginjak usia 18 tahun.Â
Undang-undang baru ini juga mengikut sertakan kedua azas penting yaitu ius sanguinis (law of blood) -- kewarganegaraan tergantung atas faktor keturunan dan ius soli (Law of soil) -- kewarganegaraan tergantung atas tempat lahir. Â Dan Undang-undang ini tidak lagi mengizinkan keberadaan penduduk dengan status Stateless.
Pada 2008, Murdaya Poo, sebagai ketua Panitia Khusus di DPR, berhasil  mendorong dikeluarkannya Undang-Undang anti Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang ini bisa menjerat siapapun yang melakukan kegiatan diskriminasi yang berdasarkan ras dan etnisitas.
Menjelang akhir jabatannya, SBY mengeluarkan Keppres 12, 2014 membatalkan keppres Soeharto yang mengubah istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina. Istilah Tionghoa dan Tiongkok dikembalikan oleh SBY sebagai istilah resmi.
Animo Tionghoa untuk berpolitik memang terus menanjak sejak reformasi, terutama di zaman SBY.
Ada beberapa Menteri Tionghoa yang masuk dalam Kabinet-kabinet pemerintahan. Di antaranya Kwik Kian Gie (Menko dan kemudian Ketua Bappenas dalam kabinet-kabinet Gusdur dan Megawati), Mari Pangestu (Menteri perdagangan dalam kabinet-kabinet SBY). Konon ada pula Menteri-menteri Tionghoa lainnya. Â Tapi ke-Tionghoa-annya tidak pernah bisa dikonfirmasi.
Partai-partai berdasarkan ke-Tionghoa-an bisa dikatakan hilang. Dari sekian banyak organisasi massa Tionghoa, hanya INTI dan PSMTI yang berhasil bertahan dengan berbagai  cabang di Indonesia. Ada pula beberapa organisasi baru yang menelurkan berbagai program integrasi -- multikulturalisme seperti PERTIWI -- Peranakan Tionghoa Warga Indonesia -- didirikan oleh Udaya Halim pada 2012 di Tangerang.
Keterlibatan dalam politik praktis terbatas pada kegiatan tokoh-tokoh Tionghoa yang masuk dalam partai-partai politik nasional. Pada Pemilu 2014 dan 2019, terdapat ratusan caleg (calon legislatif) Tionghoa tingkat nasional dan daerah. Beberapa di antaranya terpilih pada tingkat nasional (DPR) dan cukup banyak yang terpilih pada tingkat daerah (DPRD).
Ada pula partai-partai politik nasional yang dipimpin oleh Tionghoa. PERINDO (Partai Persatuan Indonesia) didirikan oleh Harry Tanoe pada 2015. Â Harry Tanoe sempat dicalonkan oleh Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) pada 2014 sebagai calon wakil presiden.Â