Sumbangsih Tionghoa dalam bidang perdagangan, kuliner dan kebudayaan Indonesia sudah banyak dibicarakan dan diketahui umum. Tidak banyak yang menyadari bahwa Tionghoa yang distereotip-kan sebagai komunitas yang hanya memiliki jiwa dagang, turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Stereotip ini berkembang pula secara destruktif, yaitu sebagai komunitas yang menguasai ekonomi Indonesia dan turut berdosa dalam menimbulkan kemiskinan. Akibat persepsi salah dan destruktif ini, Tionghoa, oleh pihak penguasa di berbagai zaman -- sejak zaman penjajahan Belanda, selalu  dijadikan kambing hitam, dan dijadikan korban sasaran kemarahan rakyat.
Akibatnya rasisme terhadap Tionghoa di Indonesia, bukan saja berbentuk pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi berbentuk ledakan-ledakan brutal -- pengrusakan rumah dan toko, penganiayaan fisik bahkan pembunuhan. Â Pada zaman pemerintahan Soeharto (1966-1998), pelaksanaan berbagai kebijakan rasis yang akan dibahasa dalam tulisan ini bahkan menimbulkan cultural genocide yang berlangsung tanpa perlindungan baik di dalam maupun luar negeri.
Masalah Tionghoa yang dihadapi masa kini merupakan warisan kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan kebijakan pemerintah Soeharto yang melaksanakan cara divide and rule - berlangsung dari 1966 hingga 1998. Â Tionghoa senantiasa di jadikan sebuah kelompok masyarakat yang dipisahkan. Di satu pihak digunakan untuk kepentingan ekonomi dan politik, di lain pihak dijadikan kelompok yang disalahkan bilamana ada mala petaka ekonomi.
Â
Tulisan ini memberi gambaran singkat tentang keterlibatan Tionghoa dalam berbagai zaman  dan membantah stereotip tentang Tionghoa dan merupakan ajakan untuk meneruskan beberapa Langkah yang sudah berjalan sejak reformasi. Â
Zaman Penjajahan Belanda (1900 -1942)
Â
Penjajah Belanda, untuk mempermudah sistim penjajahannya,  melaksanakan taktik  Divide and Rule. Salah satu kebijakan  yang menjadi dasar sistim penjajahan adalah membagi masyarakat  Hindia Belanda dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kelas atas - Eropa, Kelompok kelas menengah -- Timur Jauh (Tionghoa dan Arab) dan kelompok kelas rendah -- pribumi.
Walaupun Tionghoa berada di kelas menengah, berbagai kebijakan terhadapnya tidak banyak berbeda dengan yang berlaku untuk kelompok Pribumi. Bahkan sempat, sejak akhir abad ke 18 hingga akhir abad ke 19, Â ada pembatasan yang hanya berlaku untuk Tionghoa: mereka harus menetap di daerah-daerah khusus untuk Tionghoa dan tidak bisa meninggalkan daerah-daerah Tionghoa tanpa izin penguasa.Â
Inilah yang menyebabkan terdapat banyak Pecinan (China Towns) -- daerah-daerah yang hanya dihuni oleh Tionghoa di berbagai kota besar Indonesia.  Beberapa daerah ini masih ada di masa kini, di antaranya  Glodok - Petak Sembilan  di Jakarta, Kapasan- Kya Kya di Surabaya dan Singkawang di Kalimantan Barat.