Saat makan malam hampir selesai, ia berkata, "Aku suka senyummu, Nico." Pipiku memanas. Aku hanya bisa tersipu malu tanpa berkata apa-apa.
Aku pulang dengan hati yang bergejolak. Kali ini, ketika Ibu bertanya tentang makan malamku, kukatakan, "Aku rasa, aku suka Meilani, Bu."
Ibu berlonjak senang. Tak henti-hentinya ia berucap syukur.
Aku dan Meilani pun makin sering bertemu. Ada kala, kami pergi ke taman, berbicara banyak hal dan aku merasa tenang dengannya. Aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa perlu takut-takut lagi.
Seperti pada sore ini, saat kami duduk di bangku taman dan ketika angin bertiup sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang mekar, aku memberanikan diri bertanya, "Mei, kamu tidak keberatan aku seperti ini?"
Meilani memiringkan kepala, mungkin bingung. "Seperti apa?" tanyanya.
"Seperti aku ini."
Meilani tertawa kecil. Ia memainkan ujung rambutnya yang tebal dan lurus, sambil menunduk sedikit. Aku melihat bentuk wajahnya yang khas, sama sepertiku juga.
"Aku pun tidak sempurna, Nico. Kamu tahu, aku senang bertemu denganmu. Kamu membuatku merasa seperti bidadari, tidak melihat apa pun kekuranganku." Kata-katanya membuatku terdiam. Suaranya menyentuh hati.
Aku melihat senyum Meilani menggemaskan. Saat inilah aku sadar: Apa yang membuat kami berbeda adalah juga yang membuat kami serupa, seperti pemilik down syndrome lainnya di penjuru bumi mana pun. Seperti melihat cermin, aku melihat diriku ada di dalam diri Meilani. Kami mungkin tidak sempurna, tetapi untuk sore ini, kami sempurna.
---