Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sempurna

18 Januari 2025   10:51 Diperbarui: 18 Januari 2025   10:57 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang akhirnya menemukan pasangannya yang sempurna | Sumber Gambar pixabay.com 

Ibu memang suka bercanda. Katanya, aku mirip Nicholas Saputra---aktor favorit Ibu, yang jadi Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta. Aku tertawa kecil saat mendengar itu karena tahulah, pipiku bulat, rahangku keras, dan hidungku tidak tinggi, jauh sekali dengan bintang film itu. Kalau bicara, suaraku pelan sekali sebab aku memang takut bicara.

"Apa betul aku tampan?" Di depan cermin, kumiringkan kepala ke kanan, lalu ke kiri, barangkali memang betul aku tampan. Bayangan diriku malah balik menatapku dengan mata polos. Dan ia seperti berkata, "Kau sudah tahu jawabannya." Nah, aku bingung. Jawaban apa? Tampan atau tidak? Mungkin tidak.

Aku tahu, aku tidak sama dengan kebanyakan orang di luar sana, tetapi Ibu selalu bilang, aku istimewa. Perkara tampan itu nomor sekian, yang utama aku jadi orang baik, maka aku sepakat itu. Lagi pula, aku punya pekerjaan penting sebagai penjaga perpustakaan di kota ini. Meski gajiku tidak besar, cukuplah untuk kuberikan kepada Ibu dan menyimpan sedikit uang di celengan. Aku suka bekerja di sana karena banyak buku yang selalu diam, seperti aku. Aku suka menyusun buku-buku. Warna dan bau buku membuatku tenang. Orang-orang sering datang, tetapi tidak semua mau bicara denganku. Kalau mereka bicara, aku jawab pelan-pelan. Aku tidak pandai memakai kata-kata panjang. Kadang aku gugup, dan kalau gugup, aku suka lupa apa yang mau kukatakan.

Masalahku sebenarnya sederhana. Aku tidak percaya diri, itu saja. Usiaku hampir tiga puluh tahun, tetapi aku belum pernah sekali pun berkencan---jangankan berkencan, jatuh cinta saja rasanya seperti mimpi yang kejauhan.

"Coba aplikasi jodoh, Nico. Cari teman dulu di sana," kata Ibu. "Kamu pasti bisa ketemu teman yang baik."

Aku pikir-pikir dulu. Aku tidak terlalu paham cara pakainya. Namun, akhirnya aku setuju, supaya Ibu senang dan supaya aku tidak dicap anak  durhaka.

Kuserahkan semuanya kepada Ibu, dari mulai pendaftarannya sampai memilihkan foto untuk profilku di aplikasi jodoh itu. Fotoku pakai baju biru di pantai. Kata Ibu, warna itu membuat wajahku terlihat cerah. Aku tidak terlalu yakin, tetapi aku percaya Ibu. Senyum di foto itu juga hasil jepretannya saat kami liburan ke pantai. "Tak kalah sama Nicholas Saputra," tambahnya. Tentu saja hidungku jadi kembang-kempis.

Aku mulai mencoba aplikasi itu. Ada banyak wajah di layar, tapi aku bingung harus apa. Akhirnya, kugeser-geser saja layarnya. Aku kirim pesan ke beberapa orang. Pesanku sederhana, tidak banyak kata. Aku bilang "Halo, namaku Nico. Aku suka buku. Kamu suka apa?"

Satu menit, dua menit, hingga hitungan jam, pesan-pesan itu seperti terlempar ke dinding alias tidak dibalas. Pandanganku meredup sebab rasanya percuma. Aku ingin menyerah saja. Aplikasi jodoh ini tidak membantuku juga mendapatkan teman. Namun, setelah tiga hari, ada satu yang membalas. Perempuan. Ia tersenyum di fotonya, senyum yang hangat. Aku girang sekali. Kami mulai bercakap, dan ia mengajakku bertemu. Aku gugup meski juga senang. Kubalas lagi pesannya, tetapi singkat saja, "ya.".

Hari pertemuan akhirnya tiba. Aku sengaja datang lebih awal---sebelum pukul tujuh malam---ke restoran kecil yang kami sepakati. Suasananya tenang. Kupikir itu akan membantuku sedikit lebih santai. Namun, jantungku tetap bergemuruh. Rasanya ganjil duduk sendirian, menunggu seseorang yang hanya kukenal sekali lewat layar ponsel. Kurogoh saku kemejaku untuk mengambil selembar kertas kecil berisi daftar pertanyaan yang sudah kutulis semalam. Jelas, aku tidak ingin salah bicara dan membuat wanita kencan pertamaku nanti merasa tidak nyaman.

Perempuan yang kutunggu-tunggu datang juga, sepuluh menit dari pukul tujuh. Ia sedikit menahan kakinya saat bertemu denganku. Ekspresinya tak terduga, seolah-olah aku adalah orang yang tidak ia harapkan. Aku tahu aku terlihat canggung, dan mungkin itu sebabnya ia terlihat ragu juga. Ia tersenyum kepadaku, tetapi senyumannya sedikit kurang nyaman, dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kikuk. Ketika ia mengajakku bersalaman, tangannya hangat---atau mungkin karena tanganku yang dingin. Kupersilakan ia duduk dan memesan menu apa pun yang ia mau. Sambil menunggu pesanan, aku mencoba melontarkan pertanyaan pertama, dan lucunya, suaraku terdengar seperti robot rusak. Ia tertawa. Aku malu setengah mati.

"Tidak apa-apa. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

Aku hanya diam. Situasi mendadak aneh dan aku mulai panik.

"Maaf, saya ke toilet sebentar," kataku akhirnya, setelah sekian menit berlalu. Aku pergi meninggalkannya, tepat ketika pramusaji datang membawa makanan kami.

Di toilet, aku menatap cermin dan wajahku basah oleh air yang kubasuhkan untuk menenangkan diri. Aku menepuk-nepuk pipiku guna mencoba meyakinkan diri. "Kamu bisa, Nico. Ini cuma makan malam biasa. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ayo, kamu harus percaya diri!" Setelah beberapa menit dan merasa sedikit lebih tenang, aku kembali ke meja kami.

Namun, begitu aku kembali, perempuan itu sudah tidak ada. Gelasnya kosong, piringnya bersih, tersisa makananku yang belum sempat kusentuh dan tagihan pembayaran yang tergeletak di atas meja. Tubuhku mendadak lunglai.

Meski begitu, aku mencoba berpikir secara logis. Mungkin ia ada keperluan tiba-tiba atau terjadi sesuatu yang mendesak. Jika demikian, mengapa ia tidak memberi tahu? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah ia kecewa saat melihatku langsung? Aku tahu, aku tidak seperti yang ia inginkan, tetapi bukankah dari foto sudah terlihat siapa aku? Mengapa ia mau bertemu sejak awal kalau akhirnya pergi begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan itu merongrong di kepalaku.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan kacau. Ibu menungguku di ruang tamu seperti biasa.

"Bagaimana kencannya?" tanyanya lembut.

Aku tidak mampu menjawab. Sebagai gantinya, aku memeluk Ibu erat-erat, erat sekali, lalu kubenamkan wajahku di bahunya. Ibu tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya membelai rambutku, membiarkanku menangis.

"Tidak apa-apa, Nico. Kau hanya belum bertemu orang yang tepat. Ibu yakin itu," Ibu menenangkanku.

Hari-hari berikutnya, Ibu masih memberiku semangat untuk bertemu dengan beberapa perempuan lainnya. Hasilnya ... sama saja. Ketika bertemu, ada yang pergi di tengah-tengah kencan, ada yang memanfaatkan untuk makan mahal, dan ada juga yang menghilang setelah memintaku membelikannya barang. Aku mulai lelah. Lelah merasa bodoh. Lelah pula berharap.

Akhirnya, aku putuskan berhenti dan menghapus aplikasi itu dari ponselku. Aku tidak menyalahkan Ibu karenanya. Kukatakan kepada Ibu bahwa aku ingin waktu untuk diriku sendiri. Ibu tidak memaksaku. Ia hanya tersenyum, "Kapan pun kau siap, Ibu akan mendukungmu, Nak."

Entahlah, tetapi hidup memang punya cara sendiri untuk memberikan kejutan. Beberapa minggu setelah keputusan itu, aku bertemu seorang perempuan lagi. Pertemuan kami benar-benar tidak direncanakan, bahkan tidak ada hubungannya dengan aplikasi kencan. Sore, ketika aku sedang menata buku di rak perpustakaan, seorang perempuan mendekat. Ia terlihat kebingungan mencari-cari sesuatu di rak sastra. Jemarinya menyusuri deretan buku.

"Maaf, apa yang bisa saya bantu?" tanyaku. Ia menoleh, tersenyum, dan ada sesuatu di senyum itu---sesuatu yang memikat sekaligus sulit kujelaskan.

"Ah, ya. Saya mencari buku novel. Tadi saya lihat di katalog ada, tapi di rak tidak ada."

Aku menuntunnya mencari buku yang ia maksud. Tak lama, kami menemukan buku itu bersama-sama.

"Terima kasih banyak, ya," katanya. Ada tawanya di sana.

Obrolan kami berlanjut, mulai dari buku-buku yang ia sukai hingga hobinya membaca novel romansa. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Meilani, seorang pengrajin tangan yang sering mencari inspirasi lewat buku. Ada sesuatu dalam caranya berbicara, tulus dan ramah, dan itu yang membuatku merasa nyaman sekaligus salah tingkah.

Pertemuan sederhana kami itu menjadi awal dari sesuatu yang perlahan-lahan berubah menjadi bagian penting dalam hidupku. Meilani sering datang ke perpustakaan dan kunjungannya selalu kunanti-nanti. Kami sering berbincang tentang apa saja, tentang hidup, dan hal-hal kecil lainnya. Ia memang bukan perempuan sempurna seperti bayangan di benakku dulu, tetapi ia nyata. Tidak ada senyum palsu atau tingkah pura-pura mengesankan, dan justru itu yang membuatku terpanah asmara.

Meilani tidak pernah bertanya mengapa aku sering ragu atau gugup saat ia menatapku atau mengapa aku menghindari kontak mata terlalu lama. Ia menerimaku apa adanya. Hal yang selama ini kurindukan tanpa sadar. Begitulah hubungan kami berkembang. Perlahan-lahan, tanpa terburu-buru, kami jadi dekat.

Sabtu sore, Meilani mengundangku untuk makan malam di rumah kecil peninggalan orang tuanya. Saat aku tiba, ia sedang semangat memasak di dapur. Aroma harum masakannya memburu penciumanku. Ia menyiapkan hidangan istimewa: mi goreng dengan saus tomat buatannya sendiri, lengkap dengan ayam panggang bermentega dan salad buah segar. Malamnya, puas sekali aku menyantapnya.

Saat makan malam hampir selesai, ia berkata, "Aku suka senyummu, Nico." Pipiku memanas. Aku hanya bisa tersipu malu tanpa berkata apa-apa.

Aku pulang dengan hati yang bergejolak. Kali ini, ketika Ibu bertanya tentang makan malamku, kukatakan, "Aku rasa, aku suka Meilani, Bu."

Ibu berlonjak senang. Tak henti-hentinya ia berucap syukur.

Aku dan Meilani pun makin sering bertemu. Ada kala, kami pergi ke taman, berbicara banyak hal dan aku merasa tenang dengannya. Aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa perlu takut-takut lagi.

Seperti pada sore ini, saat kami duduk di bangku taman dan ketika angin bertiup sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang mekar, aku memberanikan diri bertanya, "Mei, kamu tidak keberatan aku seperti ini?"

Meilani memiringkan kepala, mungkin bingung. "Seperti apa?" tanyanya.

"Seperti aku ini."

Meilani tertawa kecil. Ia memainkan ujung rambutnya yang tebal dan lurus, sambil menunduk sedikit. Aku melihat bentuk wajahnya yang khas, sama sepertiku juga.

"Aku pun tidak sempurna, Nico. Kamu tahu, aku senang bertemu denganmu. Kamu membuatku merasa seperti bidadari, tidak melihat apa pun kekuranganku." Kata-katanya membuatku terdiam. Suaranya menyentuh hati.

Aku melihat senyum Meilani menggemaskan. Saat inilah aku sadar: Apa yang membuat kami berbeda adalah juga yang membuat kami serupa, seperti pemilik down syndrome lainnya di penjuru bumi mana pun. Seperti melihat cermin, aku melihat diriku ada di dalam diri Meilani. Kami mungkin tidak sempurna, tetapi untuk sore ini, kami sempurna.

---

Shyants Eleftheria. Freedom of thought

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun