Perempuan yang kutunggu-tunggu datang juga, sepuluh menit dari pukul tujuh. Ia sedikit menahan kakinya saat bertemu denganku. Ekspresinya tak terduga, seolah-olah aku adalah orang yang tidak ia harapkan. Aku tahu aku terlihat canggung, dan mungkin itu sebabnya ia terlihat ragu juga. Ia tersenyum kepadaku, tetapi senyumannya sedikit kurang nyaman, dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kikuk. Ketika ia mengajakku bersalaman, tangannya hangat---atau mungkin karena tanganku yang dingin. Kupersilakan ia duduk dan memesan menu apa pun yang ia mau. Sambil menunggu pesanan, aku mencoba melontarkan pertanyaan pertama, dan lucunya, suaraku terdengar seperti robot rusak. Ia tertawa. Aku malu setengah mati.
"Tidak apa-apa. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"
Aku hanya diam. Situasi mendadak aneh dan aku mulai panik.
"Maaf, saya ke toilet sebentar," kataku akhirnya, setelah sekian menit berlalu. Aku pergi meninggalkannya, tepat ketika pramusaji datang membawa makanan kami.
Di toilet, aku menatap cermin dan wajahku basah oleh air yang kubasuhkan untuk menenangkan diri. Aku menepuk-nepuk pipiku guna mencoba meyakinkan diri. "Kamu bisa, Nico. Ini cuma makan malam biasa. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ayo, kamu harus percaya diri!" Setelah beberapa menit dan merasa sedikit lebih tenang, aku kembali ke meja kami.
Namun, begitu aku kembali, perempuan itu sudah tidak ada. Gelasnya kosong, piringnya bersih, tersisa makananku yang belum sempat kusentuh dan tagihan pembayaran yang tergeletak di atas meja. Tubuhku mendadak lunglai.
Meski begitu, aku mencoba berpikir secara logis. Mungkin ia ada keperluan tiba-tiba atau terjadi sesuatu yang mendesak. Jika demikian, mengapa ia tidak memberi tahu? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah ia kecewa saat melihatku langsung? Aku tahu, aku tidak seperti yang ia inginkan, tetapi bukankah dari foto sudah terlihat siapa aku? Mengapa ia mau bertemu sejak awal kalau akhirnya pergi begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan itu merongrong di kepalaku.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan kacau. Ibu menungguku di ruang tamu seperti biasa.
"Bagaimana kencannya?" tanyanya lembut.
Aku tidak mampu menjawab. Sebagai gantinya, aku memeluk Ibu erat-erat, erat sekali, lalu kubenamkan wajahku di bahunya. Ibu tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya membelai rambutku, membiarkanku menangis.
"Tidak apa-apa, Nico. Kau hanya belum bertemu orang yang tepat. Ibu yakin itu," Ibu menenangkanku.