Hari-hari berikutnya, Ibu masih memberiku semangat untuk bertemu dengan beberapa perempuan lainnya. Hasilnya ... sama saja. Ketika bertemu, ada yang pergi di tengah-tengah kencan, ada yang memanfaatkan untuk makan mahal, dan ada juga yang menghilang setelah memintaku membelikannya barang. Aku mulai lelah. Lelah merasa bodoh. Lelah pula berharap.
Akhirnya, aku putuskan berhenti dan menghapus aplikasi itu dari ponselku. Aku tidak menyalahkan Ibu karenanya. Kukatakan kepada Ibu bahwa aku ingin waktu untuk diriku sendiri. Ibu tidak memaksaku. Ia hanya tersenyum, "Kapan pun kau siap, Ibu akan mendukungmu, Nak."
Entahlah, tetapi hidup memang punya cara sendiri untuk memberikan kejutan. Beberapa minggu setelah keputusan itu, aku bertemu seorang perempuan lagi. Pertemuan kami benar-benar tidak direncanakan, bahkan tidak ada hubungannya dengan aplikasi kencan. Sore, ketika aku sedang menata buku di rak perpustakaan, seorang perempuan mendekat. Ia terlihat kebingungan mencari-cari sesuatu di rak sastra. Jemarinya menyusuri deretan buku.
"Maaf, apa yang bisa saya bantu?" tanyaku. Ia menoleh, tersenyum, dan ada sesuatu di senyum itu---sesuatu yang memikat sekaligus sulit kujelaskan.
"Ah, ya. Saya mencari buku novel. Tadi saya lihat di katalog ada, tapi di rak tidak ada."
Aku menuntunnya mencari buku yang ia maksud. Tak lama, kami menemukan buku itu bersama-sama.
"Terima kasih banyak, ya," katanya. Ada tawanya di sana.
Obrolan kami berlanjut, mulai dari buku-buku yang ia sukai hingga hobinya membaca novel romansa. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Meilani, seorang pengrajin tangan yang sering mencari inspirasi lewat buku. Ada sesuatu dalam caranya berbicara, tulus dan ramah, dan itu yang membuatku merasa nyaman sekaligus salah tingkah.
Pertemuan sederhana kami itu menjadi awal dari sesuatu yang perlahan-lahan berubah menjadi bagian penting dalam hidupku. Meilani sering datang ke perpustakaan dan kunjungannya selalu kunanti-nanti. Kami sering berbincang tentang apa saja, tentang hidup, dan hal-hal kecil lainnya. Ia memang bukan perempuan sempurna seperti bayangan di benakku dulu, tetapi ia nyata. Tidak ada senyum palsu atau tingkah pura-pura mengesankan, dan justru itu yang membuatku terpanah asmara.
Meilani tidak pernah bertanya mengapa aku sering ragu atau gugup saat ia menatapku atau mengapa aku menghindari kontak mata terlalu lama. Ia menerimaku apa adanya. Hal yang selama ini kurindukan tanpa sadar. Begitulah hubungan kami berkembang. Perlahan-lahan, tanpa terburu-buru, kami jadi dekat.
Sabtu sore, Meilani mengundangku untuk makan malam di rumah kecil peninggalan orang tuanya. Saat aku tiba, ia sedang semangat memasak di dapur. Aroma harum masakannya memburu penciumanku. Ia menyiapkan hidangan istimewa: mi goreng dengan saus tomat buatannya sendiri, lengkap dengan ayam panggang bermentega dan salad buah segar. Malamnya, puas sekali aku menyantapnya.