"Pembajakan? Astaga!"
Ya, bajak laut sastra telah memperjualbelikan karyanya tanpa izin dengan harga yang lebih murah daripada secangkir kopi. Pemerintah, yang seharusnya menjaga hak-haknya sebagai penulis, lebih sibuk mengurusi kepentingan yang mereka sebut 'urusan negara' di tengah gemuruh ketidakstabilan politik dan ekonomi negeri.
Ia pun hanya bisa tertawa pahit.
Oh, sungguh, itu bukan karena ia rakus akan uang, bukan pula sebab royaltinya akan menyusut---aku tahu itu, bahkan ia tidak khawatir jika tidak sepeser pun uang masuk ke kantongnya. Lebih dari itu, ketika melihat buah karya diinjak-injak oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab, aku rasa itulah penghinaan terbesar baginya. Harga dirinya terkoyak.
Persoalan hidupnya tidak sampai di situ. Ketika ia mulai kehilangan gairah menulis, ia pernah berkata kepadaku, "Aku rasa perlawananku sia-sia."
"Mengapa Bapak bilang begitu?"
"Aku tak bisa lagi memahami selera pembaca. Tulisan-tulisan yang oleh para pencinta sastra dianggap sebagai sampah, kini berhamburan bak kacang goreng."
"Penulis juga butuh uang," dalihku.
Tulisan-tulisan yang laris tidak lagi berwujud karya yang serius atau provokatif. Tren baru ini merajalela. Karya-karya fantasi berupa tulisan-tulisan ringan, novel-novel percintaan yang dangkal, dan cerita drama penuh gombalan, inilah yang mendominasi media.
"Kesal? Tentu. Iri? Tidak," katanya.
"Tinggalkan idealisme, tulis kisah cinta yang sederhana atau dongeng yang bisa laku Bapak jual," saranku.