Tulisannya berhenti di situ.
Dan ketika tubuhnya kutemukan selang tiga hari tidak mengunjunginya, aku betul-betul terpukul hebat. Ia sudah tidak bernyawa di samping laptopnya. Rokok yang separuh terbakar di asbak, kopi yang masih setengah penuh, dan sepiring kacang rebus yang tiga perempatnya telah terkelupas, menjadi saksi perjuangan terakhirnya sebagai penulis yang tidak pernah mau menyerah pada realitas dunia kejam.
Setelah kematiannya, gemparlah dunia sastra dalam negeri. Berbondong-bondong, para pegiat sastra menghormatinya, para kritikus menghargainya, dan orang-orang yang dulu mengabaikan karyanya pun, kini berlomba-lomba mencari buku-bukunya. Karya-karyanya kembali menjadi pusat perhatian. Sayangnya, ia sudah tidak ada untuk menyaksikan semua itu.
Bahkan, tiga bulan setelahnya---aku berada di antara kerumunan komunitas sastra untuk mengadakan haul bagi para sastrawan negeri---di sanalah, ia dianugerahi penghargaan tertinggi atas karya-karya yang pernah ia tulis. Ironi, apresiasi itu muncul di saat ia telah berpulang; Sebuah pengakuan yang tidak pernah diraihnya semasa hidup.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H