Ia menolak mentah-mentah. Menulis demi uang?
"Itu adalah pengkhianatan terhadap diriku"
"Tapi Bapak butuh uang, bukan?"
"Ya, tapi tidak dengan cara itu. Aku mungkin tidak punya banyak hal yang tersisa, tapi harga diriku sebagai penulis tidak akan kugadaikan demi materi."
Terkait apa yang diucapkannya, aku ingat juga, ketika ia bercerita tentang pernikahannya yang mulai goyah seperti perahu terombang-ambing. Ketika dulu tenggelam dalam lautan sastra, ia seperti kehilangan pijakan di atas permukaan kenyataan. Isterinya---sosok wanita yang selama ini sabar menemaninya di tengah gejolak perlawanan pemikiran---tiba-tiba mulai merasa risih.
"Kau terlalu sibuk dengan dunia sendiri, sampai-sampai lupa ada kehidupan lain yang perlu kau urus. Kita butuh makan, butuh hidup." Begitu protes isterinya dan ia mengatakan ulang kepadaku.
Kebahagiaan rumah tangga mereka pelan-pelan memudar, dan akhirnya, layaknya buku yang diterbitkan tanpa tahapan editing, semua menjadi berantakan. Isterinya menyerah, lalu menggugat cerai dengan alasan yang sederhana: rumah tangga mereka tidak lagi bisa dipertahankan, secara lahir dan secara batin.
Perceraian itu, seperti bab terakhir yang tidak pernah ia duga, hingga ia merasa terkurung dalam rutan batin yang ia bangun sendiri. Sebuah penjara tanpa jeruji, yang mungkin lebih menyedihkan daripada penjara fisik yang pernah dialami ayahnya.
Sejak perceraian itu, hubungan mereka tidak pernah pulih, isterinya pergi entah ke mana, meninggalkannya seorang diri. Hubungan ia dengan saudara-saudaranya juga tak pernah baik; mereka terlalu sibuk sendiri-sendiri. Ia pun lebih memilih menjauh dari keluarga besarnya.
Persoalan muncul lagi dan lagi, dan suatu ketika ia mengeluh lagi. Setia pada idealisme ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia bukan lagi penulis penuh gairah yang bisa memuntahkan ide-ide liar setiap hari. Kreativitasnya telah kering, seperti air sumur saat kemarau panjang. Barangkali, ia terjebak dalam kebekuan menulis. Mungkin itu isyarat bahwa ia harus mengakhiri kariernya sebagai penulis, katanya, "Sebab aku sudah tua. Aku sudah lelah. Kaulah yang melanjutkan."
Dan kini, saat membaca tulisan terakhirnya, aku terhenyak.
....
Dunia sastra yang dulu saya cintai kini telah berubah menjadi musuh yang tidak bisa saya kalahkan. Saya lahir dari kata-kata, dan dalam kata-kata pula saya akan mati.
....