Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kata-Kata Terakhir di Sela Sunyi, Puntung Rokok, Ampas Kopi, dan Sepiring Kacang Rebus yang Terkelupas

27 Oktober 2024   01:38 Diperbarui: 31 Oktober 2024   21:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang penulis tua| sumber gambar https://www.msn.com

Saat sinar bulan purnama menyusup melalui sela-sela jendela kamar tua, aroma tembakau melayang-layang di udara, wangi khas kopi sumatera menyengat kuat dari napas kami, dan sepiring kacang rebus yang separuhnya telah kami kelupas, saat itulah ia berkata ingin menuntaskan nasibnya dengan cara paling sunyi yang sangat ia suka: menulis.

Laptop menyala. Cahaya sedikit redup sebab barang itu hampir mendekati usang.

"Baiklah, aku pulang," ujarku. 

Begitulah, ia ingin menyelesaikan semuanya tanpa gangguan dan tampaknya benar-benar tidak ingin diganggu siapa pun malam itu.

Hingga aku kembali ke sana, selang beberapa hari ke depan, kamar itu telah kosong---sunyi. Ia memang pernah berkata, "Aku menyukai kesunyian."

Aku menyalakan sebatang rokok, duduk di kursi yang sama tempat kami dulu sering duduk, dan mulai teringat kembali perbincangan-perbincangan lalu saat kami menghabiskan malam bersama---ditemani secangkir kopi hangat, beberapa batang rokok, dan sepiring kacang rebus.

Suatu malam, ia bercerita perihal masa kecilnya.

"Ketika akhirnya Ayah bebas, Ayah bilang kepadaku, penjara itu rumah kedua baginya. Bahkan, katanya lagi, berada di penjara jauh lebih nyaman daripada berkeliaran di luar tapi kebebasan berpikirnya selalu dijegal."

"Mengapa bisa begitu, Pak?" Aku mendesaknya untuk menjelaskan apa maksudnya itu.

Ia mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang sudah mengecil, lalu mengepulkan asapnya ke langit-langit sehingga ruangan menjadi kotor dan pengap.

"Ayah hanyalah seorang penulis," katanya dengan nada yang tidak berubah, sambil menekan puntung rokoknya di asbak. "Tapi mereka membencinya. Mungkin mereka pikir tulisan-tulisan Ayah lebih berbahaya daripada sekelompok perampok bersenjata. Kala itu, kata-kata dianggap lebih mematikan daripada peluru."

Aku hanya mengangguk-angguk, menyerap ceritanya.

Ia kemudian melanjutkan, bahwa ayahnya dulu sebelum wafat, macam seorang pelarian dari dunia yang membenci kebenaran. Pena yang dipegang sang Ayah persis tombak yang siap menusuk ketidakadilan para penguasa. Bisa jadi, satu paragraf yang ditulis bapaknya dianggap deklarasi perang. Maka mereka tidak ingin tinta di kertas membawa pengaruh buruk terhadap kekuasaan yang mereka cengkeram.

"Aku tumbuh menyaksikan bagaimana kata-kata kecil dapat menggoyangkan oligarki yang mereka kira kebal. Di sanalah aku belajar tentang kekuatan tersembunyi di balik huruf-huruf." Ia berucap getir. "Tapi aku tidak ingin mengikuti jejak ekstrem Ayah. Aku memilih jalur yang lebih halus: Menulis satir ala sufi."

Aku mengangguk lagi. Kali itu aku paham apa yang ia maksud. Dalam tradisi sufisme, kata-kata digunakan untuk menyampaikan kebenaran dengan keindahan dan simbol-simbol terselubung.

Ia memang kerap mengaburkan karya-karyanya dengan banyak metafora dan puisi-puisi manis---seperti permen beracun---agar para tirani tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sasaran empuk baginya tanpa terlihat seperti serangan langsung. Kritik-kritik tajam yang ia sampaikan hanya terlihat mencolok bagi pegiat sastra yang tahu cara membaca dengan otak, bukan hanya dengan mata.

"Para munafik itu pasti asyik terbuai oleh pujian yang kau selipkan dalam satir. Mungkin mereka telah mengira, mereka adalah bintang utama dalam tulisan-tulisan Bapak," ujarku mencoba menerka-nerka jalan pikirannya.

Ia tersenyum tipis, lalu mengambil rokok lagi. Dengan gerakan yang sudah sangat akrab, ia menyalakannya dan mengisapnya lagi. Aku perhatikan---ini sudah batang ketiga---ia seperti seorang pecandu. Pernah, suatu kali ia berkata bahwa rokok membuat otaknya lebih lincah berpikir saat menulis.

Itulah dirinya. Aku sudah mengenalnya sejak menjadi muridnya. Kami sering berdiskusi tentang penulis klasik hingga pergerakan sastra modern di kancah negeri. Dari perbincangan-perbincangan itu juga, aku tahu ada beban besar yang ia pikul sebagai anak dari seorang penulis terkemuka.

Aku adalah salah satu pembaca setianya. Esai-esainya telah merambah koran nasional, cerita-ceritanya banyak diterbitkan di majalah, dan novel-novelnya pun telah mengisi rak-rak toko buku, meski tidak banyak yang benar-benar memahami apa yang ia tulis. Ia tidak peduli orang-orang suka atau tidak. Asalkan pesannya tersampaikan, baginya itu sudah cukup, kendati hanya segelintir orang yang mengerti seni berbahasa, atau setidaknya untuk pembaca yang kurang cerdas, tetapi cekat menggunakan kamus bahasa.

Namun, aku ingat salah satu momen yang paling mengecewakannya. Ketika ia menyadari satu hal yang membuatnya berang.

"Karyaku dibajak!" katanya.

"Pembajakan? Astaga!"

Ya, bajak laut sastra telah memperjualbelikan karyanya tanpa izin dengan harga yang lebih murah daripada secangkir kopi. Pemerintah, yang seharusnya menjaga hak-haknya sebagai penulis, lebih sibuk mengurusi kepentingan yang mereka sebut 'urusan negara' di tengah gemuruh ketidakstabilan politik dan ekonomi negeri.

Ia pun hanya bisa tertawa pahit.

Oh, sungguh, itu bukan karena ia rakus akan uang, bukan pula sebab royaltinya akan menyusut---aku tahu itu, bahkan ia tidak khawatir jika tidak sepeser pun uang masuk ke kantongnya. Lebih dari itu, ketika melihat buah karya diinjak-injak oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab, aku rasa itulah penghinaan terbesar baginya. Harga dirinya terkoyak.

Persoalan hidupnya tidak sampai di situ. Ketika ia mulai kehilangan gairah menulis, ia pernah berkata kepadaku, "Aku rasa perlawananku sia-sia."

"Mengapa Bapak bilang begitu?"

"Aku tak bisa lagi memahami selera pembaca. Tulisan-tulisan yang oleh para pencinta sastra dianggap sebagai sampah, kini berhamburan bak kacang goreng."

"Penulis juga butuh uang," dalihku.

Tulisan-tulisan yang laris tidak lagi berwujud karya yang serius atau provokatif. Tren baru ini merajalela. Karya-karya fantasi berupa tulisan-tulisan ringan, novel-novel percintaan yang dangkal, dan cerita drama penuh gombalan, inilah yang mendominasi media.

"Kesal? Tentu. Iri? Tidak," katanya.

"Tinggalkan idealisme, tulis kisah cinta yang sederhana atau dongeng yang bisa laku Bapak jual," saranku.

Ia menolak mentah-mentah. Menulis demi uang?

"Itu adalah pengkhianatan terhadap diriku"

"Tapi Bapak butuh uang, bukan?"

"Ya, tapi tidak dengan cara itu. Aku mungkin tidak punya banyak hal yang tersisa, tapi harga diriku sebagai penulis tidak akan kugadaikan demi materi."

Terkait apa yang diucapkannya, aku ingat juga, ketika ia bercerita tentang pernikahannya yang mulai goyah seperti perahu terombang-ambing. Ketika dulu tenggelam dalam lautan sastra, ia seperti kehilangan pijakan di atas permukaan kenyataan. Isterinya---sosok wanita yang selama ini sabar menemaninya di tengah gejolak perlawanan pemikiran---tiba-tiba mulai merasa risih.

"Kau terlalu sibuk dengan dunia sendiri, sampai-sampai lupa ada kehidupan lain yang perlu kau urus. Kita butuh makan, butuh hidup." Begitu protes isterinya dan ia mengatakan ulang kepadaku.

Kebahagiaan rumah tangga mereka pelan-pelan memudar, dan akhirnya, layaknya buku yang diterbitkan tanpa tahapan editing, semua menjadi berantakan. Isterinya menyerah, lalu menggugat cerai dengan alasan yang sederhana: rumah tangga mereka tidak lagi bisa dipertahankan, secara lahir dan secara batin.

Perceraian itu, seperti bab terakhir yang tidak pernah ia duga, hingga ia merasa terkurung dalam rutan batin yang ia bangun sendiri. Sebuah penjara tanpa jeruji, yang mungkin lebih menyedihkan daripada penjara fisik yang pernah dialami ayahnya.

Sejak perceraian itu, hubungan mereka tidak pernah pulih, isterinya pergi entah ke mana, meninggalkannya seorang diri. Hubungan ia dengan saudara-saudaranya juga tak pernah baik; mereka terlalu sibuk sendiri-sendiri. Ia pun lebih memilih menjauh dari keluarga besarnya.

Persoalan muncul lagi dan lagi, dan suatu ketika ia mengeluh lagi. Setia pada idealisme ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia bukan lagi penulis penuh gairah yang bisa memuntahkan ide-ide liar setiap hari. Kreativitasnya telah kering, seperti air sumur saat kemarau panjang. Barangkali, ia terjebak dalam kebekuan menulis. Mungkin itu isyarat bahwa ia harus mengakhiri kariernya sebagai penulis, katanya, "Sebab aku sudah tua. Aku sudah lelah. Kaulah yang melanjutkan."

Dan kini, saat membaca tulisan terakhirnya, aku terhenyak.

....

Dunia sastra yang dulu saya cintai kini telah berubah menjadi musuh yang tidak bisa saya kalahkan. Saya lahir dari kata-kata, dan dalam kata-kata pula saya akan mati.

....

Tulisannya berhenti di situ.

Dan ketika tubuhnya kutemukan selang tiga hari tidak mengunjunginya, aku betul-betul terpukul hebat. Ia sudah tidak bernyawa di samping laptopnya. Rokok yang separuh terbakar di asbak, kopi yang masih setengah penuh, dan sepiring kacang rebus yang tiga perempatnya telah terkelupas, menjadi saksi perjuangan terakhirnya sebagai penulis yang tidak pernah mau menyerah pada realitas dunia kejam.

Setelah kematiannya, gemparlah dunia sastra dalam negeri. Berbondong-bondong, para pegiat sastra menghormatinya, para kritikus menghargainya, dan orang-orang yang dulu mengabaikan karyanya pun, kini berlomba-lomba mencari buku-bukunya. Karya-karyanya kembali menjadi pusat perhatian. Sayangnya, ia sudah tidak ada untuk menyaksikan semua itu.

Bahkan, tiga bulan setelahnya---aku berada di antara kerumunan komunitas sastra untuk mengadakan haul bagi para sastrawan negeri---di sanalah, ia dianugerahi penghargaan tertinggi atas karya-karya yang pernah ia tulis. Ironi, apresiasi itu muncul di saat ia telah berpulang; Sebuah pengakuan yang tidak pernah diraihnya semasa hidup.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun