Sore itu belum benar-benar pergi ketika saya pulang dari bermain bola.
Ibu menyambut saya dari depan pintu. "Segera bersihkan badanmu, setelah itu, kita makan bersama."
Makan bersama. Kata-kata itu lebih ditujukan kepada seorang ibu dan dua anak laki-lakinya. Di meja makan, kami bertiga---saya, Ibu, dan Adik---duduk untuk makan. Kami bercakap-cakap, sangat sederhana, tanpa Ayah.
Kami memang selalu saja seperti begitu sehingga saya sempat mempertanyakan, apa sebenarnya makna keluarga yang sempurna? Saya memandang ke piring, mencari-cari jawaban di antara butiran nasi. Barangkali ada. Dan jawabnya, pastilah lebih dari sekadar pelukan dan ciuman setiap hari.
Saya masih ingat betul, saat duduk di anak tangga teratas di rumah ini, sekitar usia empat tahun, semua teriakan dan sumpah serapah berserak di dalam rumah. Terlalu banyak kata-kata kasar, saling melawan, bertentangan, seolah-olah dinding pun akan retak oleh banyaknya kemarahan.
Saya sangat takut untuk menutup telinga karena jika menyentuhnya, saya mungkin terus melakukannya selama beberapa tahun. Ternyata, tanpa saya menutup telinga pun, keributan masih terjadi lagi, lagi, berulang lagi.
Seperti saat saya dan Adik bersiap untuk tidur. Pintu kamar belum tertutup. Terdengar suara Ayah dan Ibu bersanggah-sanggahan.
"Saya mencoba bicara soal anak kita. Kamu tahu itu. Mereka sebenarnya membutuhkanmu!" teriak Ibu.
"Apa maksudmu? Saya tidak menelantarkan mereka. Saya ini bekerja untuk mereka!" balas Ayah. Suaranya meninggi, tidak kalah keras.
Keributan makin membesar, seperti gelombang, bergulung-gulung, hingga saya menutup pintu kamar dengan gelisah. Suara-suara itu terhenti sejenak, hanya untuk kemudian terdengar lagi lebih keras. Saya dan Adik tetap di kamar, ingin melanjutkan untuk tidur dan pura-pura mengabaikan keadaan pahit di luar yang merambat lewat celah pintu.
"Saya tidak bisa lagi bertahan! Kamu selalu beralasan sibuk!" Teriakan Ibu makin melengking.
Saya tidak menginginkan hal ini terjadi kepada siapa pun yang malang. Anak-anak malang sering kali terpaksa merasakan terpuruk akibat hubungan kacau orang tua. Jiwa kami terganggu. Ada kalanya, saya ingin menghilang atau berjalan ribuan kilometer hanya untuk membebaskan saya dari pikiran-pikiran buruk tentang keluarga saya. Saya bahkan berharap bisa terbang, lalu keluar dari semua ini.
Ibu terus berteriak-teriak. "Kalau ingin pergi, pergi saja!"
Saya tahu saat ini---dan memang telah lama mengetahuinya---bahwa tidak ada yang bisa menghentikan pertengkaran itu. Tidak ada yang bisa memutuskan rantai ketegangan yang terus mengikat keluarga saya. Hal-hal yang pernah saya lihat, mungkin ini yang paling menghantui saya.
Suara Ayah dan Ibu bersahut-sahutan, kencang, keras, hingga kemudian suara-suara itu berhenti setelah pintu rumah terbanting, lalu berganti dengan raungan panjang, dan selanjutnya suara tangis Ibu.
Saya membuka pintu kamar, mengendap-ngendap, ingin melihat apa yang terjadi. Adik mengikuti dari belakang dan saya katakan kepadanya, "Tidak ada apa-apa, kembali saja tidur." Adik terlalu kecil untuk mengerti.
Di ruang tamu, Ibu terduduk di lantai, menangis terisak dengan memeluk kedua lutut. Saya mendekat.
"Bu, apa yang terjadi?" Hati kecil saya perih melihat Ibu seperti itu.
"Tidak apa-apa, Nak. Kembali ke kamar. Ibu baik-baik saja."
"Tidak, saya tidak akan meninggalkan Ibu. Tolong katakan apa yang sebenarnya terjadi."
Ibu meraih tubuh saya dalam pelukan. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Nak. Segalanya baik-baik saja." Namun suara tangis Ibu tidak mampu untuk menyembunyikan keadaan yang nyatanya tidak baik-baik saja.
Saya lalu kembali ke kamar, tetapi hanya berbaring, tanpa memejamkan mata. Saya menatap langit-langit kamar, kemudian pikiran saya menyebar. Sulit menceritakan kisah ini karena belum selesai.
Keesokan harinya, saya melihat Ibu menatap sejenak bayangannya di cermin. Ia menyapukan kuas rias ke wajahnya yang lebam dengan warna senada kulit untuk menyamarkannya. Selanjutnya, kacamata semi hitam untuk menyamarkan sembab mata.
Adik muncul di belakang Ibu, menatap Ibu sesaat sebelum memeluk Ibu erat-erat.
"Kemarilah!" ajak Ibu kepada saya. Kami berpelukan dalam hening.
Suara hati saya yang jujur mengatakan bahwa kami---saya dan Adik---membutuhkanmu, Ibu, untuk membesarkan kami karena kami tidak punya pilar. Kami tidak punya gambaran apa pun. Kami tidak punya penyangga. Kami tidak punya Ayah. Ayah tidak pernah memainkan perannya. Selalu jauh. Ayah tidak pernah ada saat keadaan menjadi tidak adil. Ayah tidak pernah menunjukkan minatnya kepada kami. Sepanjang waktu, setiap kali kami mencari sandaran, Ibulah yang selalu berdiri di hadapan kami, bukan Ayah.
Jadi, inilah cerita saya, cerita tentang Ayah yang tidak pernah benar-benar ada.
Namun, seperti keajaiban, malam ini, entahlah, Ayah hadir untuk makan malam bersama kami. Ketika kami semua duduk di meja makan, Ibu berusaha tersenyum dan berusaha menjadikan segalanya tampak normal, seolah-olah tidak pernah ada kejadian sebelumnya.
"Saya bertemu dengan teman dan bayinya tadi siang," kata Ibu. "Bayinya mirip sekali dengan ayahnya. Bayangkan, sampai ke telapak kakinya pun sama." Ibu tertawa.
Saya tidak bereaksi. Adik sibuk mengunyah. Hanya Ayah yang menyahut dengan kata singkat, "O, ya?" Saya tahu, percakapan itu milik orang dewasa. Bukan untuk anak-anak.
"Teman saya bilang, ia ingin bertemu dengan saya di akhir pekan," lanjut Ibu.
"Jadi, apa yang kamu katakan?" timpal Ayah.
"Oke, itu menyenangkan," jawab Ibu.
Saya berdiri meski belum selesai menghabiskan makanan. Lalu, saya berkata kepada Adik, "Ayo. Kita menonton film!" Adik menurut.
Namun, Ayah menegur. "Mau ke mana kalian? Duduk dan selesaikan makannya!"
"Tapi, Yah---"
"Duduklah. Selesaikan makanan kalian. Kita ingin makan malam seperti keluarga penuh cinta, bukan?"
Saya dan Adik kembali duduk dengan terpaksa.
"Habiskan dulu makanannya. Setelah itu kalian bisa pergi menonton film, ya." Ibu ikut berkata, tetapi lebih menenangkan.
"Baiklah, Bu," jawab saya lebih lembut.
"Mathius, bagaimana dengan sepak bolamu? Siap menjadi Ronaldo berikutnya?" tanya Ayah kepada saya.
Sebelum saya menjawab, Ayah mulai berkata lagi, "Sudah Ayah bilang pada ibumu, seharusnya..." Namun, ucapannya terhenti, menatap Ibu sejenak, lalu berkata ringan, "Ada sesuatu di rambutmu, Sayang."
Lucu sekali, Ibu mengibas-ibas rambutnya seakan-akan itu masalah besar. Di meja makan ini, segalanya harus terlihat wajar---setidaknya yang terlihat di mata Adik.
Di malam lain, ketegangan terjadi lagi dan selalu berakhir sama. Saya memutuskan tidak bisa terus menyaksikan Ibu menangis. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan di balik selimut. Tidak ada lagi alasan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Saya, anak laki-laki usia tanggung dari sini, dari rumah yang sama. Ketahuilah, Ibu tidak sendirian dalam hal ini. Ya, saya pun terluka, dan belum sembuh dari luka-luka kemarin. Begitu banyak rasa sakit sehingga saya tidak ingin menahan kesedihan lagi. Ini seperti sudah mencapai puncaknya.
Saat saya berada di kamar hendak tidur, saat mendengar mereka mulai berdebat lagi, lalu, prak! Saya seperti mendengar tamparan keras. Saya tidak bisa berpura-pura bahwa hal ini tidak terjadi hampir setiap minggu. Namun, kali ini berbeda. Suara tamparan itu begitu keras. Saya hampir saja meraih telepon dan memanggil polisi.
Saya melompat dari tempat tidur, ke ruang tamu, lalu melompat ke Ibu yang tersedu sedan. Ayah sudah pergi, entah ke mana, tetapi Ibu berkata, "Tidak ada apa-apa, Nak."
Saat melihat Ibu menangis, tetapi saya tidak melakukan apa-apa, saat itulah suara dalam diri saya memekik. "Anak macam apa saya ini?"
---
Â
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H