"Saya tidak bisa lagi bertahan! Kamu selalu beralasan sibuk!" Teriakan Ibu makin melengking.
Saya tidak menginginkan hal ini terjadi kepada siapa pun yang malang. Anak-anak malang sering kali terpaksa merasakan terpuruk akibat hubungan kacau orang tua. Jiwa kami terganggu. Ada kalanya, saya ingin menghilang atau berjalan ribuan kilometer hanya untuk membebaskan saya dari pikiran-pikiran buruk tentang keluarga saya. Saya bahkan berharap bisa terbang, lalu keluar dari semua ini.
Ibu terus berteriak-teriak. "Kalau ingin pergi, pergi saja!"
Saya tahu saat ini---dan memang telah lama mengetahuinya---bahwa tidak ada yang bisa menghentikan pertengkaran itu. Tidak ada yang bisa memutuskan rantai ketegangan yang terus mengikat keluarga saya. Hal-hal yang pernah saya lihat, mungkin ini yang paling menghantui saya.
Suara Ayah dan Ibu bersahut-sahutan, kencang, keras, hingga kemudian suara-suara itu berhenti setelah pintu rumah terbanting, lalu berganti dengan raungan panjang, dan selanjutnya suara tangis Ibu.
Saya membuka pintu kamar, mengendap-ngendap, ingin melihat apa yang terjadi. Adik mengikuti dari belakang dan saya katakan kepadanya, "Tidak ada apa-apa, kembali saja tidur." Adik terlalu kecil untuk mengerti.
Di ruang tamu, Ibu terduduk di lantai, menangis terisak dengan memeluk kedua lutut. Saya mendekat.
"Bu, apa yang terjadi?" Hati kecil saya perih melihat Ibu seperti itu.
"Tidak apa-apa, Nak. Kembali ke kamar. Ibu baik-baik saja."
"Tidak, saya tidak akan meninggalkan Ibu. Tolong katakan apa yang sebenarnya terjadi."
Ibu meraih tubuh saya dalam pelukan. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Nak. Segalanya baik-baik saja." Namun suara tangis Ibu tidak mampu untuk menyembunyikan keadaan yang nyatanya tidak baik-baik saja.