Di malam lain, ketegangan terjadi lagi dan selalu berakhir sama. Saya memutuskan tidak bisa terus menyaksikan Ibu menangis. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan di balik selimut. Tidak ada lagi alasan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Saya, anak laki-laki usia tanggung dari sini, dari rumah yang sama. Ketahuilah, Ibu tidak sendirian dalam hal ini. Ya, saya pun terluka, dan belum sembuh dari luka-luka kemarin. Begitu banyak rasa sakit sehingga saya tidak ingin menahan kesedihan lagi. Ini seperti sudah mencapai puncaknya.
Saat saya berada di kamar hendak tidur, saat mendengar mereka mulai berdebat lagi, lalu, prak! Saya seperti mendengar tamparan keras. Saya tidak bisa berpura-pura bahwa hal ini tidak terjadi hampir setiap minggu. Namun, kali ini berbeda. Suara tamparan itu begitu keras. Saya hampir saja meraih telepon dan memanggil polisi.
Saya melompat dari tempat tidur, ke ruang tamu, lalu melompat ke Ibu yang tersedu sedan. Ayah sudah pergi, entah ke mana, tetapi Ibu berkata, "Tidak ada apa-apa, Nak."
Saat melihat Ibu menangis, tetapi saya tidak melakukan apa-apa, saat itulah suara dalam diri saya memekik. "Anak macam apa saya ini?"
---
Â
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H