Saya lalu kembali ke kamar, tetapi hanya berbaring, tanpa memejamkan mata. Saya menatap langit-langit kamar, kemudian pikiran saya menyebar. Sulit menceritakan kisah ini karena belum selesai.
Keesokan harinya, saya melihat Ibu menatap sejenak bayangannya di cermin. Ia menyapukan kuas rias ke wajahnya yang lebam dengan warna senada kulit untuk menyamarkannya. Selanjutnya, kacamata semi hitam untuk menyamarkan sembab mata.
Adik muncul di belakang Ibu, menatap Ibu sesaat sebelum memeluk Ibu erat-erat.
"Kemarilah!" ajak Ibu kepada saya. Kami berpelukan dalam hening.
Suara hati saya yang jujur mengatakan bahwa kami---saya dan Adik---membutuhkanmu, Ibu, untuk membesarkan kami karena kami tidak punya pilar. Kami tidak punya gambaran apa pun. Kami tidak punya penyangga. Kami tidak punya Ayah. Ayah tidak pernah memainkan perannya. Selalu jauh. Ayah tidak pernah ada saat keadaan menjadi tidak adil. Ayah tidak pernah menunjukkan minatnya kepada kami. Sepanjang waktu, setiap kali kami mencari sandaran, Ibulah yang selalu berdiri di hadapan kami, bukan Ayah.
Jadi, inilah cerita saya, cerita tentang Ayah yang tidak pernah benar-benar ada.
Namun, seperti keajaiban, malam ini, entahlah, Ayah hadir untuk makan malam bersama kami. Ketika kami semua duduk di meja makan, Ibu berusaha tersenyum dan berusaha menjadikan segalanya tampak normal, seolah-olah tidak pernah ada kejadian sebelumnya.
"Saya bertemu dengan teman dan bayinya tadi siang," kata Ibu. "Bayinya mirip sekali dengan ayahnya. Bayangkan, sampai ke telapak kakinya pun sama." Ibu tertawa.
Saya tidak bereaksi. Adik sibuk mengunyah. Hanya Ayah yang menyahut dengan kata singkat, "O, ya?" Saya tahu, percakapan itu milik orang dewasa. Bukan untuk anak-anak.
"Teman saya bilang, ia ingin bertemu dengan saya di akhir pekan," lanjut Ibu.
"Jadi, apa yang kamu katakan?" timpal Ayah.