"Aku hanya ingin membuatmu bahagia," tambah Jose pelan, "aku bekerja keras untuk menafkahimu, memberikan rumah yang baik, dan kehidupan yang layak untukmu."
"Kau melihatku meminta itu semua?"
"Tidakkah itu wajar? Kita suami istri."
"Kita melakukan semua hal yang harus dilakukan. Tidak ada tuntutan di sini."
Hening.
Tiba-tiba, Jose menduduki piring kue yang tertinggal di kursi dapur. "Kue sialan!" makinya sambil melihat celananya yang kotor. Marlina tidak bisa menahan tawa melihat kekonyolan itu.
"Nah, aku suka melihatmu tertawa, Mar. Oh, Tuhan, aku merindukan tawa di rumah ini."
Marlina tertawa lagi. Entah apa yang membuatnya lucu. Mungkin pikirannya sendiri untuk momen-momen sederhana yang membuatnya tertawa.
"Aku sudah bilang, aku sangat senang jika kau bahagia."
Marlina kembali terdiam. Ia teringat dengan jelas saat awal Jose mengajaknya menikah. Waktu itu seperti fajar yang menjanjikan hari-hari penuh cahaya. Mereka berdiri di puncak dunia, membayangkan masa depan yang cerah---seperti sepasang burung yang terbang bebas di udara.
Jose meyakinkannya bahwa ia ingin melihat wajah Marlina setiap pagi, setiap siang, setiap petang, dan setiap malam. Ia berjanji akan menjadi pria yang baik, bahkan lebih baik, dan suatu hari nanti, Marlina akan menjadi ibu yang luar biasa bagi anak-anak mereka.