Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hari Marlina Tidak Pernah Istimewa

1 September 2024   05:24 Diperbarui: 1 September 2024   19:16 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perempuan yang tidak pernah merasakan hari istimewa | Sumber gambar pixabay

Setiap tujuh tahun, tubuh manusia mengalami regenerasi. Wajah, tangan, kaki, perut, dada, dan bagian tubuh lainnya semua berganti---bukan mengubah bentuk atau jenisnya, tetapi sekadar memperbarui jaringan---dan Marlina sangat percaya itu. Kini artinya ia seperti terlahir kembali untuk keenam kalinya.

Marlina keluar dari kamar mandi dengan badan berbalut handuk serta rambut masih basah. Air menetes dan mengalir di sepanjang leher. Di depan pintu, Jose berdiri, hanya berdiri, tidak menyapa, sehingga Marlina sempat merasa aneh. Saat Jose menatap Marlina dalam-dalam, isterinya itu malah berlalu, tanpa bertanya mengapa Jose ada di depan pintu kamar mandi.

"Aku akan berbelanja sendirian hari ini. Mungkin agak lama. Bisa sampai sore," kata Marlina setelah mengenakan pakaian.

Dalam hati Jose melonjak senang. Kebetulan sekali, situasi inilah yang ia tunggu-tunggu. Tadinya, ia pun bingung mencari cara supaya Marlina bisa keluar rumah hingga menjelang sore.

"Pakai saja uangnya dan berbelanjalah sepuasmu. Ini harimu, bukan?"

"Hariku?" Marlina bergumam.

Ya, ini harinya, tetapi Marlina tidak pernah merasakan hal berbeda. Pun sebelum-sebelumnya. Semuanya sama, seperti yang ia jalani setiap hari. Meskipun Jose menyebutnya "harimu", apakah ada hari yang benar-benar miliknya? Adakah hari yang istimewa dari yang lain? Marlina merasa ragu.

Udara segar menyambut Marlina di halaman, dan ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin inilah saatnya untuk menikmati waktu sendirian. Mungkin inilah yang disebut harinya walau ia tak benar-benar mengerti apa yang spesial dari hari ini. Ia menghidupkan mesin mobil, lalu dengan pandangan terakhir ke arah rumah, ia melaju pergi.

Saat tiba di rumah sekitar pukul tiga sore, sebelumnya telah mengabarkan kepada Jose jika hendak pulang, Marina tidak berpikir tentang apa-apa sedikit pun. Ia memarkir mobil di garasi, lalu mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Tangannya penuh. Dengan susah payah ia mendorong pintu rumah untuk melangkah masuk.

Baru saja pintu terbuka, suara teriakan serempak menggema, "Kejutan, Marlina!"

Marina sontak menjatuhkan belanjaannya ke lantai, lalu menelungkupkan kedua tangan ke wajah. Beragam emosinya seketika menyatu.

Teman-temannya, bersama pasangan dan sebagian mengajak anak-anak mereka, memenuhi ruang tamu yang dihiasi balon warna-warni, pita-pita, dan sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Ulang Tahun."

Marlina terpaku. Bagaimana mereka semua bisa datang ke rumah? Tidak ada kendaraan yang terparkir di luar, bahkan suasana pun sepi ketika ia pulang. Mungkinkah mereka datang dengan kendaraan sewaan? Apakah semua ini gagasan Jose? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya.

Jose segera memeluknya dan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat meski ia sudah mengucapkannya saat bangun tidur. Jose tahu, Marlina tidak suka perayaan ulang tahun, lebih suka sederhana tanpa keramaian, tetapi sesekali meriah dan berbeda, mungkin Marina bisa berubah sikap, setidaknya menghargai usaha yang telah ia lakukan.

Marina kikuk dan beralasan ingin meletakkan barang-barang belanjaan di dapur, kendati sebenarnya ia ingin segera masuk ke kamar dan menangis.

Ia menumpahkan tangisan tanpa suara. Tangisan yang bercampur antara sedih dan haru. Usianya telah mencapai empat puluh dua tahun dan ia telah melewati empat belas tahun pernikahan bersama Jose. Ia merasa kehidupannya sudah terlalu tua untuk berhura-hura.

Dari jendela kaca kamar, Marlina melihat semua bergembira di taman belakang. Anak-anak berlarian, tertawa-tawa, dan bermain. Bagaimanapun, pemandangan itu telah membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Saat melihat Jose yang juga ada di sana, melayani tamu dengan ramah dan perhatian, Marlina sesungguhnya mengucap rasa syukur bahwa seseorang masih peduli untuk merayakan harinya, meski tidak dengan cara yang ia inginkan.

Setelah berganti pakaian dan mempercantik diri dengan sedikit bedak dan gincu merah, Marlina kemudian keluar kamar dan turut bergabung bersama teman-temannya.

"Jose sungguh beruntung bisa bersamamu, Marlina," ujar seorang temannya di hadapan Marlina dan Jose.

"Mungkin sebaliknya. Jose selalu penuh kejutan setelah kami menikah." Marlina melirik sekilas ke arah Jose.

"Aku berharap kekasihku pun akan memberikan kejutan setelah kami menikah." Teman Marlina berujar lagi.

"Tentu saja itu akan terjadi, Deasy. Percayalah, cinta selalu punya cara untuk mengejutkan kita. Iya, kan, Jose?"

Jose melingkarkan satu tangannya ke pinggang Marlina dan mengecup pipi istrinya dengan lembut. Marlina tersenyum, lalu membalasnya dengan pelukan mesra sambil memberikan kecupan yang sama.

Teman Marlina yang lain mendekat dan menyerahkan bayi perempuan tujuh bulan kepada Marlina. Bayi itu sungguh menggemaskan, bermata mungil dan terang. Bayi lucu itu menatap Marina, seolah-olah ingin berkata, "Pengalaman hidup orang dewasa tidak secantik aku, kan?"

Marlina makin tua dan menyadari satu hal yang pasti bahwa hidup membawa perubahan yang tidak dapat terelakkan, terutama dalam pernikahannya. Ia memang tidak seberuntung perempuan lain yang bisa mendapatkan bayi lucu dalam rumah tangga mereka.

"Kita masih bisa mencobanya lagi, Mar."

Begitu Jose selalu menghiburnya setelah berkali-kali melihat tes kehamilan tidak kunjung membawa kabar baik. Marlina tahu bahwa tidak ada kata mencoba lagi. Mimpi itu telah menjadi ilusi yang perlahan-lahan memudar bersama waktu.

Namun, Marlina tidak pernah benar-benar merasa putus asa atau mungkin rasa kecewanya telah larut dalam deretan harapan yang terus menerus redup. Ia tetap berusaha untuk selalu tenang, terlebih-lebih setelah mengetahui bahwa kesalahan takdir bukan berasal darinya, tetapi dari Jose.

Marlina harus menelan kenyataan itu dan berusaha mempertahankan perasaannya kepada Jose agar cinta mereka tetap hidup. Kebersamaan dan cinta yang mereka miliki bisa jadi jauh lebih berharga daripada segala kesempurnaan yang belum tercapai. Meski begitu, ia menyadari, mempertahankannya ternyata sulit, bahkan teramat sulit.

Hari ulang tahun telah berlalu. Malamnya, Marlina sibuk membersihkan rumah dari sampah yang berserakan, sisa-sisa kue, dan makanan yang tidak habis. Ia melakukannya dalam diam.

"Istirahatlah dulu, Mar. Sekarang waktunya kita berdua," kata Jose sambil memeluk lembut Marlina dari belakang, "ayolah."

"Aku lelah, Jose." Marlina menggeliat mencoba melepaskan pelukan Jose dan memilih terus melanjutkan pekerjaannya.

"Ayolah, biarkan besok kita bereskan sama-sama."

Marlina tetap diam, tak menggubris ajakan Jose.

"Kau marah padaku? Apa ini semua salah?" Jose bingung dengan sikap Marlina.

"Aku pikir kita akan merayakannya hanya berdua."

"Aku pikir menyenangkan berkumpul bersama teman-temanmu."

"Kau tahu aku tidak suka kejutan."

"Maaf. Tapi aku ingin kau bersenang-senang"

"Usiaku sudah tua, Jose."

"Tidak ada yang salah dengan usia."

"Sore tadi, saat aku tiba di rumah, aku merasa seperti orang bodoh. Semua orang yang kukenal memakai pakaian bagus dan melompat ke arahku, sementara aku seperti seorang pembantu. Dan kau seolah-olah tidak pernah mengerti itu," ujar Marina dengan suara rendah.

Jose terdiam sejenak, kemudian berkata, "Jangan salah paham, Mar. Maksudku, kau justru terlihat cantik dan anggun, tidak ada yang kurang darimu.'"

"Aku hanya ingin membuatmu bahagia," tambah Jose pelan, "aku bekerja keras untuk menafkahimu, memberikan rumah yang baik, dan kehidupan yang layak untukmu."

"Kau melihatku meminta itu semua?"

"Tidakkah itu wajar? Kita suami istri."

"Kita melakukan semua hal yang harus dilakukan. Tidak ada tuntutan di sini."

Hening.

Tiba-tiba, Jose menduduki piring kue yang tertinggal di kursi dapur. "Kue sialan!" makinya sambil melihat celananya yang kotor. Marlina tidak bisa menahan tawa melihat kekonyolan itu.

"Nah, aku suka melihatmu tertawa, Mar. Oh, Tuhan, aku merindukan tawa di rumah ini."

Marlina tertawa lagi. Entah apa yang membuatnya lucu. Mungkin pikirannya sendiri untuk momen-momen sederhana yang membuatnya tertawa.

"Aku sudah bilang, aku sangat senang jika kau bahagia."

Marlina kembali terdiam. Ia teringat dengan jelas saat awal Jose mengajaknya menikah. Waktu itu seperti fajar yang menjanjikan hari-hari penuh cahaya. Mereka berdiri di puncak dunia, membayangkan masa depan yang cerah---seperti sepasang burung yang terbang bebas di udara.

Jose meyakinkannya bahwa ia ingin melihat wajah Marlina setiap pagi, setiap siang, setiap petang, dan setiap malam. Ia berjanji akan menjadi pria yang baik, bahkan lebih baik, dan suatu hari nanti, Marlina akan menjadi ibu yang luar biasa bagi anak-anak mereka.

Namun, semuanya perlahan berubah. Ada jeda dingin di antara mereka. Masing-masing menyibukkan diri, seakan-akan berusaha melupakan takdir yang tidak bisa berubah. Seumpama daun-daun gugur dan mengering, terbawa angin entah ke mana, mereka sempat kehilangan arah dan tujuan, meski kembali menemukan jalan pulang.

"Jika saja kau jujur tentang hal itu sejak awal, aku akan mengerti, Jose."

"Maafkan aku. Aku hanya takut kau akan pergi."

"Kita selalu bertengkar tentang kesibukan kita."

"Apakah karena alasan itu kau ingin pergi?"

"Apa yang kau inginkan? Kau pun tidak pernah tahu apa yang kau inginkan. Kita orang yang sama setiap hari."

"Tolong, jangan pergi, Mar."

"Entahlah ...."

Pagi, Marina mengenakan kalung indah pemberian Jose, lalu menatap dirinya di cermin. Ia mengingat perkataan Jose bahwa bunga masih tetap cantik, meski musim berbunga telah lewat dan mengalami banyak perubahan.

Marina menghampiri Jose yang termenung di taman belakang dan terlihat seperti pahatan patung bersedih.

"Ke mana kau akan pergi, Mar? Berapa lama?" tanya Jose. Suaranya serak dan matanya memelas sedemikian rupa, mirip seorang pejalan yang kelelahan dan tersesat, lalu mencari haluan dan kepastian.

"Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu, Jose. Rasa-rasanya sudah bukan saatnya lagi memikirkan untuk pergi."

"Maksudmu?"

"Aku akan terus di sini. Bersamamu," jawab Marina.

---

Shyants eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun