Namun, semuanya perlahan berubah. Ada jeda dingin di antara mereka. Masing-masing menyibukkan diri, seakan-akan berusaha melupakan takdir yang tidak bisa berubah. Seumpama daun-daun gugur dan mengering, terbawa angin entah ke mana, mereka sempat kehilangan arah dan tujuan, meski kembali menemukan jalan pulang.
"Jika saja kau jujur tentang hal itu sejak awal, aku akan mengerti, Jose."
"Maafkan aku. Aku hanya takut kau akan pergi."
"Kita selalu bertengkar tentang kesibukan kita."
"Apakah karena alasan itu kau ingin pergi?"
"Apa yang kau inginkan? Kau pun tidak pernah tahu apa yang kau inginkan. Kita orang yang sama setiap hari."
"Tolong, jangan pergi, Mar."
"Entahlah ...."
Pagi, Marina mengenakan kalung indah pemberian Jose, lalu menatap dirinya di cermin. Ia mengingat perkataan Jose bahwa bunga masih tetap cantik, meski musim berbunga telah lewat dan mengalami banyak perubahan.
Marina menghampiri Jose yang termenung di taman belakang dan terlihat seperti pahatan patung bersedih.
"Ke mana kau akan pergi, Mar? Berapa lama?" tanya Jose. Suaranya serak dan matanya memelas sedemikian rupa, mirip seorang pejalan yang kelelahan dan tersesat, lalu mencari haluan dan kepastian.