Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Eksperimen Tanpa Akhir

11 Agustus 2024   05:55 Diperbarui: 16 Agustus 2024   02:40 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi eksperimen tanpa akhir | Sumber gambar: Pixabay/sabrinabelle

Pagi dimulai ketika seorang staf rumah sakit jiwa memanggil namaku untuk masuk ke satu ruangan. Ruangan ini penuh dengan segala macam obat dengan bau kimia yang tajam. Perutku mual. Barangkali ikan kecil di dalam stoples di sudut ruangan mengalami hal serupa, bahkan malah lebih parah, karena harus terbiasa mencium bau obat sepanjang waktu.

Seorang perawat kemudian memberiku dua butir pil dan segelas air, lalu menyuruhku untuk segera menelan pil-pil itu di hadapannya.

"Jangan coba-coba sembunyikan obatnya!" katanya dengan suara nyaring. Suaranya tidak nyaman di telinga, seperti pekikan burung gagak milik penyihir hitam yang filmnya pernah kulihat di televisi.

Aku lantas membolak-balikkan lidahku ke atas dan ke bawah, meyakinkannya kalau dua pil itu benar-benar masuk ke kerongkonganku. Perawat itu mengangguk-angguk dan mempersilakanku keluar.

Dengan cepat aku menuju toilet, tentu saja untuk mengeluarkan pil-pil yang sengaja kuselipkan di rongga mulut sebelah kanan. Aku tidak mau menelannya, sebab menurutku, obat ini hanya akan merusak syaraf otak. Pil-pil itu kubuang ke wastafel dan langsung terdorong masuk oleh kucuran deras air keran. Selesainya, aku mencuci tangan dan membasuh muka.

Sebuah cermin menempel di atas wastafel. Aku melihat ke dalam pantulannya, seraut wajah seorang perempuan tiga puluh tahun dengan lingkar hitam di bawah kedua mata, terlihat letih, pucat tak bercahaya, serasa tengah menyimpan kesedihan yang tertahan.

"Tenanglah," ujarku kepadanya, "kamu pasti akan keluar dari sini."

Pada pagi lain, setelah ritual pemberian obat psikotropika yang membuatku ingin muntah, aku meminta izin kepada kepala perawat untuk bisa menemui Dokter Haris.

"Katakan saja, apa keluhanmu?" tanya kepala perawat itu dengan ketus.

"Ini sangat penting. Aku hanya perlu mendiskusikan kondisiku dengan dokter profesional yang menanganiku, tidak dengan yang lain," jawabku tak kalah ketus.

Meski sempat kudengar embusan napas keras dari kepala perawat itu, dia kemudian menyuruh anak buahnya agar mengantarku ke ruangan Dokter Haris.

Di hadapan Dokter Haris, aku mengatakan yang sebenarnya.

"Dokter, aku sudah delapan belas hari di sini. Seperti yang pernah kubilang, menurutku, ini adalah kesalahpahaman. Kesalahan ada di pihakku. Reaksiku mungkin terlalu berlebihan saat mendengar suara-suara bising seperti drum kosong yang ditabuh berkali-kali di kepalaku ini. Tapi aku pastikan, sejak itu aku tidak pernah mengalaminya lagi."

"Sekarang, bagaimana perasaanmu, Theri?"

"Aku merasa baik. Sangat baik."

"Aku mengerti apa yang kamu katakan. Tapi kenyataannya, semua pasien pun merasa diri mereka sedikit lebih baik, tapi itu tidak berarti mereka sudah sembuh."

"Aku seorang penulis. Terkadang, aku bekerja berdasarkan halusinasi. Itu sudah biasa bagiku. Tapi aku rasa ada banyak asumsi yang salah tentang diriku. Orang-orang sering kali menganggapku tidak normal karena sikap atau pandanganku berbeda. Padahal, aku cuma ingin memahami dunia ini dengan caraku sendiri."

"Theri, kamu harus menerima kenyataan karena mengidap penyakit yang sangat serius. Sangat disayangkan itu menyedihkan walaupun aku ingin memulangkanmu segera."

"Aku tidak mengerti lagi bagaimana bisa seorang dokter profesional melakukan diagnosis berlebihan terhadap pasiennya. Dokter bisa bertanya pada keluargaku, teman-temanku, siapa pun, dan mereka akan memberitahumu kalau aku baik-baik saja."

"Kami perlu melakukan diagnosis lanjutan. Tunggulah. Aku sangat paham kalau kamu mengalami frustrasi. Tapi ingatlah, kami di sini membantumu mendapatkan perawatan terbaik."

"Ini konyol. Perawat-perawat di sini bahkan melayaniku dengan buruk. Justru merekalah yang telah membuatku gila."

Aku bangkit dari kursi dan mendekatkan wajahku ke wajah Dokter Haris.

"Dokter pasti tahu kalau aku pasien normal, kan?"

Dokter Haris mundur menghindariku. Staf perawat di ruangan Dokter Haris menarik tubuhku, menjauhkanku dari dokter spesialis kejiwaan itu, tetapi aku menepisnya. Mungkin ada kekhawatiran kalau-kalau aku tidak bisa mengendalikan gerakan tubuhku karena sedang mengalami kebingungan dan kegelisahan yang hebat.

Ketakutanku tinggal selamanya di rumah sakit jiwa ini kupikir sangat beralasan. Saat awal, David, tunanganku yang seorang psikiater, mencetuskan ide konyolnya agar aku bersedia menjadi salah satu sukarelawannya untuk melakukan semacam eksperimen gilanya, aku bahkan sempat ragu dan menolaknya.

Apakah ada jaminan diagnosis psikiatri ini tidak memengaruhi kesehatan kejiwaanku ke depan? Terlebih-lebih, aku tidak pernah mengalami penyakit mental sebelumnya, tetapi harus memalsukan identitasku serta memanipulasi gejala-gejala medisku dengan berbohong bahwa aku mengidap skizofrenia.

Namun, David meyakinkanku bahwa apa yang dilakukannya ini bukanlah sebuah penipuan. Dia hanya ingin melihat dampak secara nyata, bagaimana eksperimen ini mampu mempercepat gerakan untuk mereformasi institusi mental. Dia pun mengatakan kalau proses dan hasil eksperimen ini bisa menjadi terobosan baru bagiku di dunia penulisan, sebab akan ada cerita atau jurnal luar biasa yang bisa kutulis dan itu akan tercatat dalam sejarah.

"Theri, kamu cukup berada di rumah sakit selama beberapa waktu saja. Aku akan terus memantaumu, jadi jangan khawatir. Cara agar eksperimen ini berhasil, kamu harus menerima fakta bahwa aku benar. Biarkan saja mereka di sana mengatakan kamu sakit jiwa, tetapi itu tidak akan berpengaruh terhadapmu. Percayalah, kamu akan baik-baik saja."

Kenyataannya, sampai pada hari kedua puluh lima bertahan di rumah sakit ini, aku tidak menjumpai diriku baik-baik saja. Andaikan selanjutnya aku tidak berjumpa dengan seorang gadis berambut merah saat semua pasien dikumpulkan ke satu ruangan besar untuk metode relaksasi, mungkin aku akan menyerah dan menganggap eksperimen David merupakan ide terburuk dari semua ide buruk yang pernah ada.

Gadis berambut merah itu bernama Emily, berusia tiga tahun di bawahku. Dia orang pertama di rumah sakit ini yang memberikan pengakuan mengejutkan.

"Sebenarnya, kami tahu kamu berbeda. Kamu tidak gila," katanya. Nah!

Emily menjadi satu-satunya penghuni rumah sakit yang mampu mengimbangi pikiran-pikiran normalku. Meski dia mengatakan perihal depresi dan rencana bunuh dirinya ketika kutanyakan mengapa dia ada di sini, aku meyakini bahwa Emily hanya terjebak pada distorsi kepercayaan diri, bukan gila, dan dia jelas membutuhkan teman secara wajar.

Aku pernah menyaksikan bagaimana Emily tertawa bahagia ketika mengejar kupu-kupu di taman belakang gedung atau ketika mengelus-elus kucing kampung yang kerap berkeliaran di dalam rumah sakit atau ketika memetik bunga dan menciuminya berkali-kali. Hal-hal itu menandakan bahwa dia sebenarnya memang mengharapkan interaksi sosial yang nyata, yang mungkin tidak pernah dia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya.

Aku dan Emily saling bersinergi. Mungkin saja bagi Emily, aku pun merupakan satu-satunya orang di rumah sakit ini yang mampu memahami keberadaan dirinya di sini. Bisa saja demikian, bukan?

Pertemananku dengan Emily kuceritakan kepada David, saat tunanganku itu datang pada hari ketiga puluh lima. Beruntungnya, aku mendapatkan hak istimewa menerima tamu dan diperbolehkan berjalan-jalan dengan David di area taman di luar gedung.

"Emily menghabiskan hari-harinya di sini bersamaku. Aku tidak percaya dengan semua hal tentang keinginannya untuk bunuh diri atau juga dia yang mengalami depresi berat."

"Apa yang terjadi pada Emily mungkin sangat buruk. Dia sakit."

"Tapi aku tetap tidak percaya dia sakit."

"Aku tahu dia seperti saudara perempuanmu. Tapi kamu tidak tahu apa-apa dari apa yang sekadar kamu dengar darinya."

Ya, mungkin saja David benar, sebab kemunculan Emily pun membubuhkan tanda tanya besar bagiku.

Kami lalu membicarakan hal lain, termasuk kondisiku pada eksperimen ini. Mengenai syarat pembebasanku, kukatakan kepada David bahwa aku sudah bertindak normal dan mengaku tidak lagi mengalami halusinasi tambahan kepada pihak rumah sakit.

"Kamu luar biasa, Theri. Sudah waktunya eksperimen ini berakhir. Aku telah menemui Dokter Haris. Tiga empat hari ke depan, secepatnya, aku akan mengurus berkas pembebasanmu dan membawamu pulang."

"Betulkah?" 

Kami terus berjalan-jalan dan berbincang-bincang. Tanpa sadar, aku dan David telah berada di bagian lain di dinding rumah sakit yang sepi. David tiba-tiba memelukku dan mengecup keningku. Selepas itu, kami bercumbu sesaat. Aku menikmatinya. Inilah bagian dari kewarasan hidup yang aku suka.

Aku memberitahukan rencana kepulanganku kepada Emily. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, selain bibirnya yang meregang dalam senyuman tipis.

"Maukah melakukan sesuatu bersamaku sebelum pulang?" pintanya.

Aku mengangguk. Maka, kami pun merencanakan sesuatu yang dia maksud.

Pada malam ketika semua orang sibuk beradu mimpi, kami berhasil menghindari deteksi, melompati rintangan, dan merasa seakan-akan kamilah penguasa rumah sakit ini karena stoples kaca bening yang berisi ikan kecil di ruang pengelolaan kesehatan telah berhasil kami curi. Lucu saja, mengapa kami sampai puas melakukan kejahatan kecil ini.

Kami lalu menuju kamar mandi dan Emily memindahkan ikan itu ke dalam bak. Jemari tangan Emily sesekali mengikuti pola tingkah ikan kecil itu yang lincah berenang ke sana kemari.

"Lihatlah! Ikan ini tampak senang sekali di tempat baru." Saat mengatakan itu, mata Emily memancarkan binar.

"Suatu saat nanti, kamu pun bisa mendapatkan tempat yang lebih baik, Emily."

"Aku tidak tahu, apakah lebih baik atau tidak. Mungkin sama seperti ikan ini, apakah ia lebih baik ada di dalam wadah kacanya atau lebih baik keluar. Tapi, kupikir-pikir, sebaiknya ikan ini kembali ke wadah kacanya."

Emily lantas menangkap ikan kecil itu dan memasukkannya kembali ke stoples kaca bening.

Aku melihat binar mata Emily tiba-tiba meredup. Seketika, entah apa yang dipikirkannya, dia menjatuhkan stoples kaca itu. Suara kaca pecah menggema di udara. Ikan yang tadinya berenang dengan damai, kini menggelepar di lantai.

"Emily! Apa yang kamu lakukan?"

Dalam kepanikan, aku mencoba menyelamatkan ikan kecil itu sebelum mati. Namun, belum sempat aku memungutinya, petugas rumah sakit datang mencengkeram lenganku. Aku berteriak-teriak karena cengkeram tangannya sangat kuat dan menyakitiku. Tiba-tiba, aku merasakan tusukan jarum menembus dagingku. Tubuhku mendadak lemas dan mataku seperti berkunang-kunang. Samar-samar aku melihat Emily mengambil pecahan kaca dari balik tirai kamar mandi. Setelahnya, pandanganku gelap.

Aku terbangun dengan wajah menghadap ke langit-langit kamar. Sekian lama terdiam, aku menyadari kalau ini bukanlah kamarku---entah di mana. Perasaanku seperti sedang sekarat, kepalaku pening, badanku pegal. Mungkin ini adalah tidur terburukku sepanjang aku mengalami tidur.

"Apa yang terjadi?"

"Kamu mencuri dan melakukan perbuatan yang tidak pantas." Seorang perawat menyahut.

Aku telah lupa kejadiannya. Ketika tubuhku mulai pulih, aku justru teringat seseorang. Ya, Emily. Ke manakah dia?

Tepat di hari keempat puluh dua, aku merapikan diri. David berjanji akan datang menjemputku. Sambil menunggu kedatangannya, aku berjalan-jalan mengitari kamar-kamar rumah sakit.

Setiap kali mendengar teriakan pasien, aku berharap itu Emily, tetapi tidak satu pun dari mereka yang merupakan Emily. Sungguh, aku merindukannya. Aku mencarinya kembali. Mungkin saja dia sudah ada di kamarnya lagi.

Benar saja. Emily sudah ada di kamarnya. Dari lubang persegi berjeruji besi di daun pintu, aku melihatnya tidur di atas dipan.

"Emily! Emily!" panggilku berbisik.

Emily tidak menyahut. 

Aku lalu mendorong pintunya yang ternyata tidak terkunci.

Aku terbelalak. Tulangku gemetar dahsyat dan denyut jantungku melonjak cepat ketika aku melihat Emily tidur dengan mata terbuka. Pergelangan kirinya mengucurkan darah, sementara tangan kanannya memegang pecahan kaca. Seprai yang menyelimuti kasur pun telah penuh dengan noda merah. Aku menutup mulutku dan tidak percaya dengan pemandangan mengerikan di hadapanku.

Ketika aku berlari ke luar hendak mencari bantuan, David dan Dokter Haris sudah ada di depan pintu. Aku langsung memeluk David dan menangis sejadi-jadinya.

"Kamu kenapa?" tanya David seraya mengusap-usap lembut punggungku.

"Emily. Dia ...."

Dokter Haris bergegas masuk ke kamar Emily seakan-akan hendak memastikan apa yang terjadi di dalam. Aku dan David bergerak menyusulnya.

Namun, aku makin terperanjat dan terperangah. Tempat tidur itu telah kosong dan Emily tidak ada di sana. Bahkan, darah yang menempel di atas seprai pun juga lenyap.

"Aku melihatnya tadi. Sumpah, aku melihatnya!"

David dan Dokter Haris berpandangan. Sesaat kemudian, secara bersamaan, mereka berdua menatapku dengan tatapan aneh dan mimik wajah yang ganjil.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun