Aku melirik ke arah Mar dan melihat ketegangan yang sulit disembunyikan di wajahnya. Kekhawatiran yang sama sebenarnya juga kurasakan, tetapi kututup-tutupi dengan segenap upaya. Faktanya, aku tidak bisa berbohong. Beberapa kali aku hampir kehilangan fokus kemudi.
"Hati-hati, Pak!" katanya dengan suara pelan namun tegas.
Tidak jauh, tiang penunjuk keberadaan SPBU terlihat pada jarak dua ratus meter. Tepat sekali, mobil sedang membutuhkan tambahan bahan bakar. Di dalam area SPBU ada minimarket. Aku juga hendak mencari minuman di sana.
"Mau titip apa, Bu?"
"Tidak. Aku tidak ingin apa-apa."
Meski demikian, sebotol teh kemasan dan sebungkus roti isi daging kuberikan kepada Mar ketika aku kembali. Dia mengambilnya dan meminumnya. Roti pun dia makan. Tadi di rumah, dia tidak menelan apa pun sebelum berangkat.
Mataku menangkap Mar tengah memperhatikan ibu dan anak kecil yang bergandengan di depan minimarket. Mungkin Mar teringat dirinya dan Mirel kecil.Â
Aku tahu, hati Mar juga lembut terhadap Mirel meskipun hubungan isteri dan anakku itu kerap berselisih paham.
"Apa yang akan kita lakukan, Pak?" tanyanya pelan.
"Kita lihat dulu kondisinya. Aku yakin Mirel baik-baik saja," jawabku hampir berbisik.
"Semoga," katanya sambil menghela napas.