Kukatakan salah karena Mirel terkadang suka mengeluh kepadaku sebab menginginkan jeda dari belajar yang begitu intensif. Kukatakan benar karena ketika Mar bercerita tentang keinginannya untuk bersekolah di kedokteran, yang kemudian harus mengikuti kemauan bapaknya untuk bersekolah di kejuruan dan menjadi guru, Mar akhirnya memahami bahwa saat itu pilihan diambil karena alasan finansial.Â
Biaya terbatas membuat impiannya menjadi dokter harus dikubur, digantikan dengan kenyataan bahwa jalur kejuruan tidak mengecewakannya sebab mampu mengejawantahkan kariernya hingga berhasil menjabati kepala sekolah di kota kabupaten.
"Seni hanya hobi, bukan hal yang bisa menjadi pekerjaan serius ke depan," katanya saat Mirel mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan di bidang seni.
Mirel memiliki kecintaan terhadap dunia seni. Dia suka melukis, menari, dan bermain musik. Ironisnya, Mar dengan tegas melarangnya jika seni menjadi langkah utama Mirel untuk jangka panjang.
Mar begitu percaya bahwa masa depan cerah terletak pada pendidikan formal yang lebih konvensional dan terstruktur. Walaupun sempat berdebat tentang masa depan Mirel, kami menemui satu kesepakatan---lebih tepatnya aku yang mengalah---bahwa kami hanya ingin memastikan Mirel memiliki kehidupan yang aman dan stabil.
Aku memikirkan Mirel yang harus melalui semua ini, sementara aku merasa tidak bisa menjadi orang tua yang bijaksana. Mar, meskipun dengan niat terbaiknya, isteriku itu belum mampu kuajak berdiskusi secara realistis. Mar begitu keras, tegas, dan sulit untuk melonggarkan tali kendalinya.
Terjebak di antara keinginan untuk melindungi seorang anak dan ketidakmampuanku untuk mendekati seorang istri amatlah menyiksa. Perasaan ini menghantamku seperti gelombang besar, sesak, dan membuatku hampir tidak mampu bernapas.
Beberapa saat menguatkan diri, aku membasuh wajah, lalu kembali ke meja restoran. Mar sedang memotong kuku Mirel dengan wajah yang terlihat lelah dan basah, tetapi terdapat ketulusan dalam gerakannya.Â
Kuperhatikan keduanya sejenak, kedekatan mereka begitu nyata. Entah apa yang mereka bicarakan selama aku di toilet.
Saat pandanganku dan Mirel bertemu, kulihat sesuatu yang mendalam di matanya yang berkaca-kaca. Dia tersenyum dan mengangguk pelan.Â
Tanpa suara, bibirku bergerak, membentuk kata-kata yang semoga bisa diterjemahkan dan dia pahami bahwa kami, bapak dan ibunya, sangat menyayanginya.