Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Keputusan di Halte

2 Juli 2024   20:43 Diperbarui: 12 Juli 2024   17:58 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan di Halte | sumber gambar pixabay.com/CHÂU VIỄN

Mariah terus berjalan, diselingi berlari, begitu tergopoh-gopoh menarik koper besar yang mengeluarkan bunyi gemeretak di atas trotoar kasar. 

Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tidak seorang pun mengejarnya. Langkahnya kian cepat kendati tidak melihat tanda-tanda orang mengikutinya.

Napasnya tersengal-sengal begitu tiba di sebuah halte tiga ratus meter dari tempat semula ia pergi. Hari sudah malam. Tak seorang pun ada di sana, sepi.

Lima belas menit ia berdiri, bus terlihat dari kejauhan. Ketika bus mulai melaju pelan dan kemudian berhenti, Mariah mendekat, tetapi ia ragu-ragu menjejakkan kaki ke tangga bus, sebelum akhirnya mundur dan memutuskan berdiam diri untuk beberapa waktu ke depan.

Tidak lama, seorang perempuan lebih muda dari Mariah datang, lalu duduk di bangku panjang yang sama. Perempuan itu berambut keriting terikat, dan mengenakan jaket cokelat sewarna kulitnya. 

Sekilas ia menatap Mariah datar, tanpa ekspresi, mungkin karena Mariah hanyalah seseorang yang kebetulan ada di sana, tidak lebih dari itu.

Mariah juga tidak hirau dengan sekelilingnya. Ia duduk sambil menggigit-gigit bibir serta menggoyang-goyangkan kaki, sementara jemari kanannya sibuk mengusap-usap cincin yang melingkar di jari manis sebelah kiri. Pikirannya risau, sampai-sampai tidak menyadari ponsel di dalam tasnya berdering.

Perempuan muda di sampingnya menoleh dan memandang Mariah penasaran.

"Ponselmu bunyi."

"Iyakah?"

Mariah membuka tas dan buru-buru menjawab panggilan itu setelah melihat siapa yang menelepon.

"Ya, Bu, jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku belum punya waktu menelepon Jo, nantilah. Tidak apa-apa. Aku cuma lelah. Baiklah, sampai nanti. Aku juga menyayangimu."

Sesaat setelah Mariah mengakhiri percakapannya, ponselnya kembali berdering. Nama "Jo" muncul di layar. Wajahnya berubah tegang. 

Entah mengapa panggilan itu menyerupai teror gelap yang menghantuinya. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu belenggu yang sulit dilepaskan.

Ponsel terus berdering dengan nama yang sama dan membuatnya tidak mampu berpikir jernih. Dadanya sesak dan jantungnya berdegup tidak beraturan. 

Ia tidak berani menyentuh layar ponsel untuk menjawab, takut kalau Jo akan banjir emosi yang mungkin mengikutinya seperti gelombang dahsyat tak terkendali. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia justru berjalan cepat-cepat menjauhkan diri dari halte.

Perempuan muda yang mengamati tingkah laku Mariah tiba-tiba berteriak.

"Hei! Kopermu ketinggalan!"

Namun, Mariah malah berjalan makin cepat, bahkan berlari, seolah-olah dikejar bayangannya sendiri. Perempuan muda yang melihat gelagat aneh Mariah berusaha menyusulnya, membawa koper itu sambil terus berteriak.

"Tunggu! Kopermu!"

Mariah tersentak dan berhenti berlari saat tangan perempuan itu berhasil meraih punggungnya, tetapi segera ia tepis. Dalam kekacauan itu, koper terlempar dan terbuka. 

Perempuan muda itu pun membelalakkan mata ketika melihat koper Mariah ternyata kosong, tidak ada isinya sama sekali. Aneh!

Mariah mendadak gugup dan buru-buru menutup koper itu kembali. Wajahnya memerah, air matanya mengalir, dan suaranya terisak-isak. Tentu saja keadaan itu menyisakan kebingungan dan pertanyaan mengambang bagi perempuan muda yang melihatnya itu.

"Kamu kenapa? Apa yang terjadi?"

Bahu Mariah berguncang hebat. Perempuan yang bersamanya itu mendekati, mencoba memberikan perhatian.

"Mau duduk di sana lagi?"

Perempuan muda itu menuntun Mariah yang gontai kembali ke halte berharap supaya lebih tenang.

Perlahan-lahan, Mariah mulai membuka diri setelah beberapa saat. Ia menceritakan segala beban pikiran yang merundungnya, seperti ada kekuatan tidak terlihat yang membuatnya merasa bebas dan lega untuk berbicara kepada perempuan muda berambut keriting di sampingnya itu.

"Mungkin aku harus pulang menemuinya lagi."

"Apa? Kamu menyerah? Aku bahkan telah melihat yang lebih buruk dari keadaanmu."

"Tapi Jo tidak sungguh-sungguh melakukannya."

"Maksudmu, ia tidak pernah melakukan kekerasan terhadapmu?" Alis perempuan muda itu terangkat.

"Tidak begitu. Maksudku, Jo bisa menjadi pria yang paling baik hati dan paling lembut. Akulah yang merusaknya. Aku terlalu egois menuntut hidupnya dan itu membuatnya kejam. Itu bukan salahnya, itu salahku."

"Huh! Aku seperti mendengar omong kosong dari ceritamu."

"Jo bilang ia hanya tidak sadar. Kadang-kadang ia sangat marah, tapi ia janji bisa membaik. Ia bilang juga, kalau aku tetap tinggal, ia akan berubah dan akan menebus semua kesalahannya untukku."

"Terus, kamu percaya? Coba tolong dengarkan aku! Jika ia mencintaimu, ia tidak akan memukulmu." Perempuan muda itu berkata dengan suara tegas.

"Kamu tidak akan bisa mengerti," jawab Mariah pelan, matanya menatap kosong ke kejauhan.

Perempuan muda berambut keriting tersenyum sinis saat Mariah meragukannya dan menganggapnya tidak mengerti apa-apa. Wajahnya berubah menjadi cermin penuh luka saat ia mulai bercerita tentang kehidupannya yang juga tragis.

"Ayahku sering mengatakan hal yang sama kepada ibuku. Dan Ayah berdalih, ia sungguh-sungguh menyesal tiap kali melakukannya. Semua omong kosong itu hanya alasan sialan agar Ayah merasa lebih baik setelah melakukan kekerasan kepada Ibu."

Perempuan muda itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia menawarkan rokok kepada Mariah yang dengan halus menolaknya. Sebatang rokok itu kemudian dimasukkannya lagi ke saku celana, lalu ia berbicara lagi.

"Sampai di lain waktu, Ayah melakukannya lagi, bukan saja kepada Ibu, tetapi kepada kami juga, aku dan adik-adikku, lalu ia akan meminta maaf, tapi ia mengulangi lagi. Sungguh keparat, bukan? Aku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ayah selalu sama dengan kata-kata yang keluar dari mulut orang-orang sepertinya."

Kata-kata perempuan itu menggantung di udara serupa awan gelap, berat dan penuh muatan.

"Satu hal, aku tidak mengenalmu. Dan maaf, aku tidak mencoba menghinamu. Tapi jika kamu terus membuat pembelaan untuknya dari apa yang ia lakukan, aku kira kamu memang patut untuk disalahkan. Kalian berdua sama."

Mariah merasa terhantam oleh kebenaran pahit dari mulut perempuan muda itu.

"Tapi semua orang memuja kami, mengatakan betapa sempurnanya kami sebagai pasangan. Betapa cocoknya kami. Betapa beruntungnya aku memilikinya." Mariah mengusap hidungnya yang berair.

"Ibuku berusaha selama bertahun-tahun mendapatkan perhatian Ayah walaupun ia tidak benar-benar menginginkannya. Ibu bahkan juga menyalahkan dirinya sendiri, aku, saudara-saudaraku, segalanya, kecuali Ayah, padahal Ayah seorang pemabuk. Entahlah, bagi Ibu, Ayah lebih penting daripada kami."

Mata perempuan itu kemudian menyalang tajam seperti belati saat ia melanjutkan pembicaraan.

"Aku berharap Ayah mati karena aku membencinya, sangat membencinya. Sekarang, aku bekerja dan mendapatkan uang untuk Ibu dan adik-adikku meski mereka tidak tahu apa yang aku kerjakan setiap malam. Ayahku? Persetan! Ia tidak pernah kasihan terhadap kami."

"Aku juga membenci Jo atas apa yang telah ia lakukan. Aku benci suamiku. Tapi ia mencintaiku dan aku sangat tahu itu. Ia akan berubah, mungkin ia akan berubah."

Perempuan berambut keriting di samping Mariah lantas mendengkus dan membuang muka sebab muak mendengar kata-kata Mariah. Cinta tidak seharusnya menjadi alasan seseorang untuk mudah memaafkan perlakuan kasar pasangan. Itu semacam pelecehan nurani.

"Kamu harus mulai mengatakan yang sebenarnya, setidaknya kepada diri sendiri. Memang tidak mudah, tapi sederhana. Begitulah yang ibuku lakukan."

Mariah tahu kata-kata perempuan itu benar. Dia seharusnya mulai jujur pada dirinya sendiri, mengakui bahwa hubungan pernikahannya telah merusak dirinya lebih dari yang bisa ia bayangkan. Namun, keberanian untuk melakukannya seakan-akan terhalang oleh rasa takut. Ia teramat tidak bernyali. Benar-benar tidak bernyali.

Lagi-lagi ponsel Mariah berbunyi. Nama Jo muncul lagi di layar. Mariah panik, takut akan hal yang mungkin terjadi jika ia mengangkat panggilan itu.

"Angkat saja! Katakan kalau ini sudah berakhir."

"Tapi aku tidak bisa."

"Kamu bisa, ayo katakan!"

"Oh, Tuhan, aku tidak punya nyali."

"Kalau begitu, sini ponselnya! Biar aku yang bicara."

Satu sama lain saling merebut ponsel. Mariah mempertahankannya.

"Tidak usah. Tolong, jangan!" Anggap ini bukan hal serius!" teriak Mariah penuh dengan kekacauan dalam suaranya. Ia merasakan genangan air di matanya mulai panas.

"Bukan hal serius? Astaga! Kamu benar-benar payah!"

Ketika bus yang dinantikan akhirnya tiba dan berhenti di depan halte, Mariah tetap diam di tempatnya, menangis dalam kebingungan, sementara perempuan muda di dekatnya itu sudah kehilangan kesabaran, memandang Mariah dengan tatapan kesal.

"Dengar, aku tidak ingin lagi mencampuri urusanmu. Jadi, untuk masalahmu, selesaikan saja sendiri!"

Tanpa menoleh lagi, perempuan muda berambut keriting naik ke dalam bus, meninggalkan Mariah bersama koper kosong di halte yang lengang.

***

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun