"Tapi semua orang memuja kami, mengatakan betapa sempurnanya kami sebagai pasangan. Betapa cocoknya kami. Betapa beruntungnya aku memilikinya." Mariah mengusap hidungnya yang berair.
"Ibuku berusaha selama bertahun-tahun mendapatkan perhatian Ayah walaupun ia tidak benar-benar menginginkannya. Ibu bahkan juga menyalahkan dirinya sendiri, aku, saudara-saudaraku, segalanya, kecuali Ayah, padahal Ayah seorang pemabuk. Entahlah, bagi Ibu, Ayah lebih penting daripada kami."
Mata perempuan itu kemudian menyalang tajam seperti belati saat ia melanjutkan pembicaraan.
"Aku berharap Ayah mati karena aku membencinya, sangat membencinya. Sekarang, aku bekerja dan mendapatkan uang untuk Ibu dan adik-adikku meski mereka tidak tahu apa yang aku kerjakan setiap malam. Ayahku? Persetan! Ia tidak pernah kasihan terhadap kami."
"Aku juga membenci Jo atas apa yang telah ia lakukan. Aku benci suamiku. Tapi ia mencintaiku dan aku sangat tahu itu. Ia akan berubah, mungkin ia akan berubah."
Perempuan berambut keriting di samping Mariah lantas mendengkus dan membuang muka sebab muak mendengar kata-kata Mariah. Cinta tidak seharusnya menjadi alasan seseorang untuk mudah memaafkan perlakuan kasar pasangan. Itu semacam pelecehan nurani.
"Kamu harus mulai mengatakan yang sebenarnya, setidaknya kepada diri sendiri. Memang tidak mudah, tapi sederhana. Begitulah yang ibuku lakukan."
Mariah tahu kata-kata perempuan itu benar. Dia seharusnya mulai jujur pada dirinya sendiri, mengakui bahwa hubungan pernikahannya telah merusak dirinya lebih dari yang bisa ia bayangkan. Namun, keberanian untuk melakukannya seakan-akan terhalang oleh rasa takut. Ia teramat tidak bernyali. Benar-benar tidak bernyali.
Lagi-lagi ponsel Mariah berbunyi. Nama Jo muncul lagi di layar. Mariah panik, takut akan hal yang mungkin terjadi jika ia mengangkat panggilan itu.
"Angkat saja! Katakan kalau ini sudah berakhir."
"Tapi aku tidak bisa."