"Ya, Bu, jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku belum punya waktu menelepon Jo, nantilah. Tidak apa-apa. Aku cuma lelah. Baiklah, sampai nanti. Aku juga menyayangimu."
Sesaat setelah Mariah mengakhiri percakapannya, ponselnya kembali berdering. Nama "Jo" muncul di layar. Wajahnya berubah tegang.Â
Entah mengapa panggilan itu menyerupai teror gelap yang menghantuinya. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu belenggu yang sulit dilepaskan.
Ponsel terus berdering dengan nama yang sama dan membuatnya tidak mampu berpikir jernih. Dadanya sesak dan jantungnya berdegup tidak beraturan.Â
Ia tidak berani menyentuh layar ponsel untuk menjawab, takut kalau Jo akan banjir emosi yang mungkin mengikutinya seperti gelombang dahsyat tak terkendali. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia justru berjalan cepat-cepat menjauhkan diri dari halte.
Perempuan muda yang mengamati tingkah laku Mariah tiba-tiba berteriak.
"Hei! Kopermu ketinggalan!"
Namun, Mariah malah berjalan makin cepat, bahkan berlari, seolah-olah dikejar bayangannya sendiri. Perempuan muda yang melihat gelagat aneh Mariah berusaha menyusulnya, membawa koper itu sambil terus berteriak.
"Tunggu! Kopermu!"
Mariah tersentak dan berhenti berlari saat tangan perempuan itu berhasil meraih punggungnya, tetapi segera ia tepis. Dalam kekacauan itu, koper terlempar dan terbuka.Â
Perempuan muda itu pun membelalakkan mata ketika melihat koper Mariah ternyata kosong, tidak ada isinya sama sekali. Aneh!