"Kamu mau ke mana? Kurasa kantor tidak akan buka hari ini, bukan?" tanyaku.
"Jhon barusan menelponku. Ada yang perlu kami bahas karena Jhon harus ke luar kota selama seminggu."
"Jhon? Rekan kerjamu? Bisa-bisanya ia mengorbankan waktu bersama keluarganya untuk menemuimu."
Suamiku terdiam dan kelihatan gelisah karena aku tahu ia berbohong. Aku menyorongkan jus jeruk kepadanya, tetapi ia beralasan sudah terlambat dan buru-buru pergi. Tanpa memelukku dan menciumku seolah-olah ia sudah melupakan cara kecil kami berpamitan, ia lalu mengatakan akan pulang malam hari. Cangkir berisi jus jeruk hanya kupandangi saja. Aku hanya bisa mengatur napasku karena tahu ia pasti ingin menemui Alicia.
Alicia sudah terlanjur menghipnotis suamiku dengan membuka semacam ruang kenyamanan. Aku benar-benar tidak menyangka mereka akan seserius ini. Barangkali inilah kesalahan terbesarku. Akulah yang telah menciptakan kemelut dingin ini di dalam rumah tanggaku sendiri. Sekarang, rasa bersalahku seperti sebuah boomerang yang siap memburuku dan melukaiku.
Frans, bagaimanapun aku mencintainya dan aku yakin ia pun masih sangat mencintaiku. Kurasa, aku perlu memintanya melakukan pledoi resolusi bersama terhadap masa depan pernikahan kami. Jika memungkinkan, hubungan semu antara suamiku dan Alicia harus kuhentikan. Langkah mereka sudah terlalu jauh dan aku tidak ingin kehilangan suamiku secara utuh.
Pukul sembilan, tidak ada salahnya aku berdandan cantik, memakai baju merah yang menjadi warna nostalgia kencan pertama kami, karena aku curiga suamiku pergi bukan untuk menemui Jhon.
Dengan bergegas, aku pergi menyusul suamiku. Tidak sulit menemukan keberadaan suamiku karena ia ada di sana, duduk, menunggu seseorang.
Tepat ketika aku hendak mendekati punggungnya, panggilan masuk ke nomor ponsel keduaku yang selama ini kusembunyikan dengan rapi untuk berselingkuh dengan suamiku sendiri.
"Kamu di mana?"
"Aku di sini, memakai baju merah."