Ini bukan rahasia. Aku jelas mengetahuinya sendiri. Sekarang aku percaya pepatah bahwa "kebenaran akan membebaskanmu". Ya, perasaanku menjadi lebih baik dan bebas setelah mengetahui kebenarannya.
Awalnya, aku enggan menemukan kebenaran tentang suamiku yang selingkuh. Namun, aku senang karena akhirnya bisa memberanikan diri untuk itu. Mulanya, seorang perempuan tiba-tiba mengawali pesan teks ke nomor telepon suamiku karena mengira itu milik temannya. Walaupun tidak masuk akal karena tidak mungkin ia tidak mengetahuinya, tetapi suamiku begitu percaya, bahkan tidak menaruh curiga sedikit pun. Mungkin itu wajar menurut suamiku, siapa pun bisa salah. Padahal, insiden keliru nomor itu cuma akal-akalan dan dalih perempuan itu saja.
Bayangkan, beberapa jam setelahnya, perempuan itu bahkan menghubungi suamiku lagi. Ia tampak sengaja melakukannya dengan berbicara secara langsung. Ia pun tidak sungkan-sungkan memperkenalkan diri, Alicia namanya. Suaranya seperti dibuat-buat, terkesan layaknya perempuan murahan yang mencari mangsa di tempat hiburan malam-malam. Lucu saja, suamiku bisa terkena jebakannya, walaupun aku tahu sejatinya suamiku tidak menyukai tipikal perempuan berkarakter manja seperti itu.
Aku mulai melihat pergerakan suamiku ketika akhirnya ia tertarik melanjutkan komunikasi dengan Alicia. Saat hendak tidur, misalnya, suamiku akan menyuruhku untuk tidur terlebih dahulu, sementara ia keluar kamar dan mengatakan ada email kantor yang belum sempat ia balas.
"Kamu bisa menyalakan laptopmu di sini, Frans. Aku tidak keberatan dengan cahayanya."
"Aku tidak ingin tidurmu terganggu, kamu kelihatan lelah sekali malam ini. Besok pagi-pagi, kamu harus ke kantor."
"Baiklah, balaslah email dan cepatlah tidur. Jangan buat aku susah membangunkanmu besok pagi."
Suamiku menatapku seolah-olah hendak memberikan isyarat kalau ia bisa dipercaya. Aku mengangguk saja, memahami alibinya. Ia bergegas ke luar kamar dan berjanji akan masuk lagi dengan segera.
Suamiku dan Alicia makin melancarkan aksi mereka untuk terus-menerus melakukan percakapan. Mereka pun seperti menikmati hubungan jarak jauh sampai berminggu-minggu dengan penuh kehati-hatian. Kadang-kadang, mereka membahas perihal receh tentang film kartun yang masih sering diputar di televisi dan suamiku terlihat menyukai obrolan itu.
Agak konyol memang, di saat aku melihatnya sebagai perilaku yang tidak dewasa ketika ia tenggelam dalam kegembiraan menonton kartun favoritnya, Alicia hadir sebagai antitesis diriku dengan mengatakan bahwa menonton film kartun bagi laki-laki dewasa adalah sebuah kenormalan yang relatif. Suamiku tentu saja senang karena pembelaan Alicia mungkin dianggapnya sebagai bantahan atas sikapku yang menilai humor slapstick pada film kartun tersebut sebagai tontonan tidak logis---dan tentu saja suatu ketidaknormalan untuknya. Â
Begitulah, mereka lantas berbincang dari waktu ke waktu, hingga kemudian beralih ke ranah pribadi. Saat suamiku begitu terbuka menjabarkan pengalaman batinnya mengenai pernikahan kami kepada Alicia, dadaku sesak. Suamiku cepat sekali memercayai Alicia, padahal mereka tidak pernah bertemu sekali saja, sementara kepadaku, ia tidak pernah seterbuka itu.
Aku sempat terbakar cemburu, tetapi tertahan karena menyadari satu hal bahwa aku tidak mau suamiku tahu kalau aku mengetahui semua itu. Kubiarkan saja, sebatas mana mereka mampu menjalin hubungan diam-diam di belakangku dan aku akan diam-diam juga menyelundupkan perasaanku dari rahasia mereka.
Alicia selalu berusaha memancing kejujuran suamiku seakan-akan ia berhak mengetahui lebih dalam apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumah tanggaku dan suamiku.
"Mungkin kami mengalami kejenuhan." Suamiku mengatakan itu.
Alicia lalu melontarkan pertanyaan yang cukup terarah, apakah kami akan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan?
"Oh, tidak ... tidak, bukan itu maksudku. Aku tidak ingin berpisah dengan istriku."
"Lantas?"
Suamiku lantas menjelaskan secara gamblang kepada Alicia bahwa di dalam labirin rumah tangga kami terdapat ketidakseimbangan peran di antara kami. Sementara aku terlibat penuh dalam karier menantang, suamiku justru merasa terdorong ke sudut yang sunyi oleh kehadiran pekerjaanku yang menghabiskan waktu. Rasa kebosanannya muncul dari perasaan ketidaksetaraan ketika rutinitas sehari-hari menjadi monoton karena peran dan kewajiban yang kurang berimbang. Suamiku mengatakan seakan-akan aku telah merangkak menjauh, sedangkan ia kadang-kadang merasa terabaikan dan kesepian.
Aku seperti tertampar dengan perasaan tersayat pada usia pernikahan kami yang telah memasuki tahun ke tujuh. Ingatanku seperti terlempar ke belakang ketika aku bertemu dengannya saat kami masih mengenyam pendidikan di universitas yang sama. Saat itu aku langsung tahu kalau ia adalah cinta di dalam hidupku. Kami menjalin kasih terindah, kemudian menikah, menjalani hari-hari yang begitu istimewa.
Namun, seiring waktu, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana segalanya berubah. Suamiku bukan lagi pria yang sama. Ia pencemburu. Ketika aku menghadiri ulang tahun temanku, ia selalu melakukan panggilan berkali-kali dan aku terpaku dengan gangguannya. Kukatakan kepadanya, aku perempuan normal, seperti orang-orang, berteman dengan siapa pun. Teman-teman lama, sahabatku, tidak mungkin aku tinggalkan. Aku malah berharap suamiku menganggap mereka bagian dari kehidupannya juga, tetapi ia mengatakan teman-temanku bukanlah temannya karena mereka tidak saling membutuhkan. Sungguh, aku kecewa dengan pola pikir suamiku. Ia sangat kekanak-kanakan.
Suamiku mulai menjauh sejak mengenal Alicia. Ada sesuatu yang tidak beres tentang dirinya. Pelukan dan ciuman kami tidak lagi sama. Kami terlibat banyak pertengkaran dan kesalahpahaman sehingga selanjutnya kami lebih sering melakukan aksi diam. Ia lebih banyak berbicara kepada Alicia, tetapi tidak denganku.Â
Sebenarnya, aku mulai jengah dengan sandiwara mereka dan ingin mengajak suamiku duduk berdua, bertatapan, berbicara, dengan melibatkan hati kami masing-masing, tetapi aku tidak tahu kapan saat yang tepat itu datang. Aku masih menunggu waktu.
Suamiku kembali menghubungi Alicia. "Kamu kemana saja? Aku menunggu teleponmu dari kemarin."
"Aku sibuk."
"Ya, aku tahu, tapi kenapa kamu tidak membalas pesanku?"
"Maafkan, aku tidak sempat."
"Oke, tidak apa-apa. Aku tidak bisa melakukan ini lagi. Aku ingin melihatmu sekarang."
"Kamu mau kita benar-benar berselingkuh?"
"Mungkin, aku tidak tahu. Dengarkan, Alicia, aku hanya ingin menemuimu pagi ini. Kita harus bertemu, di kafe Benzo pukul sepuluh. Aku akan menunggumu di sana."
"Istrimu, bukankah hari ini libur bekerja? Kamu tidak ingin menghabiskan waktu bersama dengannya?"
"Istriku sedang ke supermarket dan kurasa ia tidak akan keberatan jika aku pergi."
Aku sampai di rumah sambil menenteng dua kantong plastik belanjaku pagi ini. Suamiku keluar kamar, ia baru selesai mandi dan sudah berpakaian rapi.
"Kamu mau ke mana? Kurasa kantor tidak akan buka hari ini, bukan?" tanyaku.
"Jhon barusan menelponku. Ada yang perlu kami bahas karena Jhon harus ke luar kota selama seminggu."
"Jhon? Rekan kerjamu? Bisa-bisanya ia mengorbankan waktu bersama keluarganya untuk menemuimu."
Suamiku terdiam dan kelihatan gelisah karena aku tahu ia berbohong. Aku menyorongkan jus jeruk kepadanya, tetapi ia beralasan sudah terlambat dan buru-buru pergi. Tanpa memelukku dan menciumku seolah-olah ia sudah melupakan cara kecil kami berpamitan, ia lalu mengatakan akan pulang malam hari. Cangkir berisi jus jeruk hanya kupandangi saja. Aku hanya bisa mengatur napasku karena tahu ia pasti ingin menemui Alicia.
Alicia sudah terlanjur menghipnotis suamiku dengan membuka semacam ruang kenyamanan. Aku benar-benar tidak menyangka mereka akan seserius ini. Barangkali inilah kesalahan terbesarku. Akulah yang telah menciptakan kemelut dingin ini di dalam rumah tanggaku sendiri. Sekarang, rasa bersalahku seperti sebuah boomerang yang siap memburuku dan melukaiku.
Frans, bagaimanapun aku mencintainya dan aku yakin ia pun masih sangat mencintaiku. Kurasa, aku perlu memintanya melakukan pledoi resolusi bersama terhadap masa depan pernikahan kami. Jika memungkinkan, hubungan semu antara suamiku dan Alicia harus kuhentikan. Langkah mereka sudah terlalu jauh dan aku tidak ingin kehilangan suamiku secara utuh.
Pukul sembilan, tidak ada salahnya aku berdandan cantik, memakai baju merah yang menjadi warna nostalgia kencan pertama kami, karena aku curiga suamiku pergi bukan untuk menemui Jhon.
Dengan bergegas, aku pergi menyusul suamiku. Tidak sulit menemukan keberadaan suamiku karena ia ada di sana, duduk, menunggu seseorang.
Tepat ketika aku hendak mendekati punggungnya, panggilan masuk ke nomor ponsel keduaku yang selama ini kusembunyikan dengan rapi untuk berselingkuh dengan suamiku sendiri.
"Kamu di mana?"
"Aku di sini, memakai baju merah."
Aku tidak tahu seberapa cepat detak jantung suamiku ketika melihatku. Yang pasti, ia terperangah dan mendadak kaku saat aku menjulurkan tangan ke arahnya, sambil memperkenalkan diri dengan suara manja.
"Aku Alicia." Â
---
Shyants Eleftheria, Salam Cerdas Literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H