Begitulah, mereka lantas berbincang dari waktu ke waktu, hingga kemudian beralih ke ranah pribadi. Saat suamiku begitu terbuka menjabarkan pengalaman batinnya mengenai pernikahan kami kepada Alicia, dadaku sesak. Suamiku cepat sekali memercayai Alicia, padahal mereka tidak pernah bertemu sekali saja, sementara kepadaku, ia tidak pernah seterbuka itu.
Aku sempat terbakar cemburu, tetapi tertahan karena menyadari satu hal bahwa aku tidak mau suamiku tahu kalau aku mengetahui semua itu. Kubiarkan saja, sebatas mana mereka mampu menjalin hubungan diam-diam di belakangku dan aku akan diam-diam juga menyelundupkan perasaanku dari rahasia mereka.
Alicia selalu berusaha memancing kejujuran suamiku seakan-akan ia berhak mengetahui lebih dalam apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumah tanggaku dan suamiku.
"Mungkin kami mengalami kejenuhan." Suamiku mengatakan itu.
Alicia lalu melontarkan pertanyaan yang cukup terarah, apakah kami akan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan?
"Oh, tidak ... tidak, bukan itu maksudku. Aku tidak ingin berpisah dengan istriku."
"Lantas?"
Suamiku lantas menjelaskan secara gamblang kepada Alicia bahwa di dalam labirin rumah tangga kami terdapat ketidakseimbangan peran di antara kami. Sementara aku terlibat penuh dalam karier menantang, suamiku justru merasa terdorong ke sudut yang sunyi oleh kehadiran pekerjaanku yang menghabiskan waktu. Rasa kebosanannya muncul dari perasaan ketidaksetaraan ketika rutinitas sehari-hari menjadi monoton karena peran dan kewajiban yang kurang berimbang. Suamiku mengatakan seakan-akan aku telah merangkak menjauh, sedangkan ia kadang-kadang merasa terabaikan dan kesepian.
Aku seperti tertampar dengan perasaan tersayat pada usia pernikahan kami yang telah memasuki tahun ke tujuh. Ingatanku seperti terlempar ke belakang ketika aku bertemu dengannya saat kami masih mengenyam pendidikan di universitas yang sama. Saat itu aku langsung tahu kalau ia adalah cinta di dalam hidupku. Kami menjalin kasih terindah, kemudian menikah, menjalani hari-hari yang begitu istimewa.
Namun, seiring waktu, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana segalanya berubah. Suamiku bukan lagi pria yang sama. Ia pencemburu. Ketika aku menghadiri ulang tahun temanku, ia selalu melakukan panggilan berkali-kali dan aku terpaku dengan gangguannya. Kukatakan kepadanya, aku perempuan normal, seperti orang-orang, berteman dengan siapa pun. Teman-teman lama, sahabatku, tidak mungkin aku tinggalkan. Aku malah berharap suamiku menganggap mereka bagian dari kehidupannya juga, tetapi ia mengatakan teman-temanku bukanlah temannya karena mereka tidak saling membutuhkan. Sungguh, aku kecewa dengan pola pikir suamiku. Ia sangat kekanak-kanakan.
Suamiku mulai menjauh sejak mengenal Alicia. Ada sesuatu yang tidak beres tentang dirinya. Pelukan dan ciuman kami tidak lagi sama. Kami terlibat banyak pertengkaran dan kesalahpahaman sehingga selanjutnya kami lebih sering melakukan aksi diam. Ia lebih banyak berbicara kepada Alicia, tetapi tidak denganku.Â