Aku mengeluarkan sepeda dari gudang saat Ibu menyapu daun-daun kering akasia di pekarangan rumah.
Batang-batang lidinya sudah memendek karena telah patah-patah sehingga mengharuskan Ibu menggerakkannya dengan tubuh membungkuk. Begitu melihatku, dia menegakkan badannya dan menghentikan aktivitasnya seketika.Â
"Mau ke mana, Gustam? Pergi dengan Marcus lagi?"
Berbeda dengan Ayah, Ibu memang tidak pernah melarangku bermain bersama Marcus. Ibu juga tidak pernah mengatakan hal yang buruk tentang sahabatku itu. Hanya, Ibu seringkali mengingatkanku agar aku berhati-hati memilih teman---itu saja.Â
"Pulanglah sebelum gelap. Nanti malam Ayah pulang dan kita makan bersama. Tolong, jangan buat Ayah marah."Â
Aku mengangguk. Sekadar meyakinkan Ibu bahwa aku akan pulang secepatnya, termasuk berusaha untuk tidak membuat Ayah marah meski tidak bisa kupastikan juga.
Sinar matahari sudah mulai meredup, tetapi sore masih terang. Aku buru-buru mengayuh sepeda. Tadi, sepulang sekolah, Marcus memintaku untuk datang ke rumahnya. Dia mau mengajakku ke bukit di sebelah utara untuk memetik jambu air.
Bukit itu, kata Marcus, sudah menjadi milik pamannya. Rencananya, kata Marcus lagi, pamannya akan membangun vila di sana. Aku senang mendengarnya. Siapa tahu nanti Marcus akan mengajakku menginap di vila pamannya itu.Â
Aku pernah melihat pamannya Marcus dan baru ingat kalau Ayah pernah mendapatkan bingkisan makanan serta amplop darinya. Kata Ayah, pamannya Marcus orang partai.Â
Dulu, katanya Ayah juga, pamannya Marcus pernah berjanji ingin mengubah kehidupan orang-orang di kota kecil kami supaya hidup lebih sejahtera---itu kalau dia terpilih duduk sebagai anggota dewan. Sekarang, pamannya Marcus sudah menjadi pejabat. Kaya-raya pula. Tapi kehidupan orang-orang masih begitu-begitu saja.