Aku tahu Marcus marah, tetapi kubiarkan saja. Semoga saja kemarahannya tidak berlangsung lama dan mungkin besok dia akan mendekatiku lagi. Tahu-tahu langit mendung, maka secepatnya aku pulang.
Ibu telah menyiapkan sup ayam hangat untuk menu makan malam kami. Sayangnya, aku tidak bernafsu makan. Sup itu kuaduk-aduk saja di dalam mangkuk. Aku teringat Marcus. Di luar mulai hujan. Apakah dia masih ingin memecahkan jendela Nyonya Mirna?Â
Di meja makan, Ayah mengatakan sesuatu kepada Ibu.Â
"Aku yakin, kali ini Ramos telah menyuruh orang menebarkan hama di kebun apel kita. Selama ini ladang kita baik-baik saja. Mungkin itu caranya membuat kita gagal panen. Jahat sekali. Tidak, aku tidak sebodoh yang dia kira. Aku tidak seperti orang-orang yang dikelabuinya, menjual tanah dengan harga murah. Aku tidak akan menjual ladang warisanku. Jika dia terus-menerus menerorku, aku akan menendang bokong keparat itu!"
Aku terperanjat karena Ayah menyebut-nyebut nama Ayahnya Marcus. Tiba-tiba, Ayah mengagetkanku dengan pertanyaannya.Â
"Kau masih bermain bersama Marcus? Jauhi dia, Gustam! Ayah tidak ingin kau menjadi orang jahat kelak."
Aku ingin sekali meneriakkan satu hal kepada Ayah kalau Marcus tidak jahat, dia hanya butuh teman. Namun, percumalah. Ayah tidak akan mendengarkanku. Lebih baik aku bermain-main dengan sup tanpa memakannya sesendok pun. Sialnya, Ibu justru memarahiku.
"Jangan menyia-nyiakan makanan, Gustam. Cepat habiskan!"
PRAAANK!!! Mendadak bunyi kaca pecah dari arah ruang tamu mengagetkan kami. Sepertinya, seseorang melemparinya. Suara anjing menggonggong dan melolong tiada henti. Ayah bangkit menuju ruang tamu.
"HEI! SIAPA YANG MEMECAHKAN KACA JENDELA RUMAHKU?"
Ayah kembali ke meja makan, menunjukkan sebongkah batu kepada aku dan Ibu. Aku menunduk dan menduga-duga itu perbuatan Marcus. Bisa saja karena Marcus ingin melampiaskan emosinya sore tadi kepadaku.Â