Mataku masih terang awas tertuju pada layar ponsel di tangan. Suzan tidak bisa dihubungi dan pesan yang kukirim juga tidak berbalas. Padahal, aku hanya ingin menanyakan apa yang dilakukannya Sabtu malam ini?
Pikiranku mulai tidak tenang. Was-was sudah menyelusup ke dada, lalu dengan tempo teratur cepat, perasaan itu mulai mengetuk-ngetuk rasa cemas.
Sudah hampir lima jam tidak ada jawaban darinya. Tidak biasanya dia seperti itu. Aku khawatir, tentu saja, dan aku pikir, siapa pun yang berada pada posisiku, semua juga akan merasakan kekhawatiran yang sama.
Istriku terbangun setelah aku menyalakan kembali lampu baca di belakang kami di dinding atas tempat tidur.
"Apa yang terjadi?"
"Tidak apa-apa, kembalilah tidur."
"Jam berapa sekarang?"
"Setengah satu."
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Menghubungi Suzan, tetapi tidak bisa."
"Menghubungi Suzan tengah malam begini?"
"Setidaknya dia menjawab pesanku atau meneleponku sebentar sekadar memberitahukan apa yang sedang dilakukannya."
"Astaga! Kamu selalu saja berlebihan. Tidakkah kamu pikir dia sudah tidur pulas sama seperti yang orang-orang lakukan? Ayolah, jangan konyol. Semua baik-baik saja."
Istriku kemudian berbalik mengempaskan badannya sehingga posisi tidurnya memunggungiku. Aku dibuatnya kesal lagi karena dia sering kali menganggapku begitu, berlebih-lebihan. Padahal, menurutku, sudah sepantasnya seorang ayah memikirkan keadaan anaknya, di mana pun dan kapan pun.
Bayangan akan kehidupan malam di perkotaan, kehingar-bingarannya di klub-klub bebas, terutama di akhir pekan malam-malam, membuatku kalut. Banyak orang mencari hiburan di sana setelah berhari-hari penat dengan beragam aktivitas dari pagi hingga petang.
Maksudku, aku tidak bisa memantau keadaan Suzan sepenuhnya. Bagaimana jika seseorang yang tidak dikenalnya atau mungkin temannya sendiri---dia selalu memberitahuku siapa saja teman dekatnya---melakukan rayuan maut supaya dia melakukan sesuatu yang gila, misalnya, pergi ke pesta seks atau ke pesta narkoba hingga larut malam? Itu bisa saja terjadi walaupun sebenarnya aku yakin bahwa Suzan, putriku satu-satunya ini, tidak akan melakukan hal-hal yang dia sendiri tahu risiko besarnya.
Akan tetapi, tetap saja pikiran buruk tentang kemungkinan-kemungkinan buruk pun terus berputar-putar di kepalaku. Kehidupan di luar teramat kejam. Berita-berita tentang perilaku anak-anak muda yang terjebak ke dunia kelam acap kali kudengar. Tentu saja faktor utama yang paling disorot adalah peran orang tua mendidik mereka. Maka aku tidak ingin Suzan terjebak seperti itu.
Aku sudah tidak berminat tidur dan memilih keluar kamar menuju teras belakang. Sebatang rokok kuisap dalam-dalam. Ketika kuembuskan satu napas panjang, asap-asap berkepulan. Malam makin pekat. Suara burung malam dan lolongan anjing samar-samar terdengar beriringan seolah-olah dua jenis hewan itu hendak menyatukan nada.
Kembali aku mengecek ponsel kalau-kalau ada balasan dari Suzan, tetapi masih tidak ada, sedangkan jawaban yang kudapat ketika meneleponnya adalah "Nomor yang Anda panggil sedang tidak aktif. Cobalah lagi nanti."
Kemungkinan terjadi sesuatu yang tidak beres muncul di benakku. Maka terpikir olehku untuk menelepon seorang temannya--dan itu berhasil.
"Ya, Om, aduh, maaf, aku berada di tempat yang ramai. Ada apa?"
"Tidak apa-apa, Noy. Ponsel Suzan tidak bisa dihubungi. Kupikir kalian berdua mungkin bersama."
"Sebenarnya tadi kami hendak pergi sama-sama ke pesta ulang tahun teman di sini, tapi di perjalanan, Suzan bilang, dia sakit kepala, jadi dia tidak bisa ikut dan pulang sendirian."
"Apa maksudmu dia sakit kepala?"
"Ah, tidak apa-apa. Aku pikir dia hanya tidak ingin datang."
"Apakah kamu tahu di mana dia, Noy?"
"Mungkin pulang. Tapi, aku yakin dia baik-baik saja."
"Terima kasih, Noy. Kembalilah ke pesta."
Aku segera menghubungi kembali nomor Suzan, tetapi lagi-lagi jawabannya sama, "Nomor yang Anda panggil sedang tidak aktif. Cobalah lagi nanti."
Kuputuskan untuk mengambil kunci mobil, sementara istriku tertidur lelap. Tanpa berpamitan dan tidak peduli dengan pakaian yang kukenakan, diam-diam aku keluar rumah dan melakukan perjalanan malam-malam.
Kembali aku menelepon Suzan, lagi-lagi jawaban yang kuterima dari operator yang sama bahwa nomornya tidak bisa dihubungi. Dadaku bergemuruh, pikiranku melayang-layang. Beginilah rasanya menjadi seorang ayah untuk anak yang masih delapan belas tahun yang pertama kalinya berpisah.
Awalnya, aku mempertentangkan semua keputusannya untuk mencari rumah indekos setelah dia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kota. Aku mengatakan kepadanya bahwa dia tetap bisa tinggal bersama kami karena dengan demikian kami tidak akan kesulitan memberi perhatian dan pengawasan langsung terhadapnya.
Mengenai jarak tempuh dari rumah ke kota yang memang terbilang jauh, aku akan mengupayakan supir untuk mengantarnya pergi-pulang, tetapi dia menolak dan berdalih cara tersebut sangat tidak efisien untuk kegiatan belajarnya, terlebih-lebih yang paling utama sebenarnya dia ingin mandiri.
Meski belum sepenuhnya rela melepasnya, baiklah, aku mengalah. "Jaga dirimu, Nak." Amanah ini selalu kutekankan untuknya.
Mobilku melaju lancar di jalanan lengang. Ketika separuh lebih perjalanan, dari kejauhan tampak sedikit keramaian. Dua orang polisi ada di sana. Seketika aku panik dan mengira-ngira, apakah Suzan yang ada di sana?
Aku memberhentikan mobilku tidak jauh dari keramaian kecil tersebut. Namun, begitu berlari mendekat, yang kujumpai hanyalah seorang pria kurus berjanggut sedang ditahan polisi, mungkin saja dia kena razia malam.
"Oh, maaf," kataku lega.
Aku kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan hingga kurang dari satu jam tiba di depan rumah bertingkat. Aku turun dan menelepon Suzan sekali lagi. Sial! Jawaban operator tetap sama.
Pintu utama rumah terkunci. Sekeliling rumah sunyi senyap dan di dalam rumah pun tampak gelap. Namun, tatkala aku mendongak, satu jendela di lantai dua separuh terbuka dengan cahaya remang-remang di dalamnya. Aku segera mencari beberapa bebatuan kecil dan melemparnya ke sana. Sayangnya, tidak satu pun yang menuju sasaran.
Tidak ada yang kupikirkan selain hal konyol bahwa satu-satunya jalan aku harus memanjat. Beruntungnya, aku menemukan tangga di samping rumah---ah, anak-anak terlalu ceroboh meletakkan tangga di sini.
Tanpa lama, aku bergerak cepat supaya bisa sampai ke atas. Pada usia hampir separuh baya ini meski bersusah payah, tubuhku masih bertenaga. Dengan berpegangan pada pipa air dan mencoba bertumpu pada bagian dinding yang menonjol, aku bisa juga menggapai jendela, melebarkannya, dan melompat masuk, lalu terduduk di lantai dengan napas naik-turun.
Tiba-tiba seorang berteriak kencang. "Oh, Tuhaaan! Siapa kamu? Pencuri? Keluaaar! Keluar dari sini atau aku akan panggil polisi!"
"To---tolong jangan panggil polisi."
"Cepat! Keluar dari sini! Aku tidak bercanda!"
"Maafkan. A-aku ..."
Gadis itu menatapku dengan seksama. "Ayahnya Suzan?"
"Noy?"
Aku menutupi wajahku dengan kedua belah tangan karena malu, hanya berkaus singlet, bercelana pendek, dan rambut acak-acakan seperti orang gila, apalagi masuk secara tidak sopan ke kamar seorang gadis.
"Om sudah tidak waraskah? Apa yang Om lakukan di kamarku jam tiga pagi? Aku baru pulang dan hendak tidur."
Seseorang mengetuk pintu kamar. Noy berlari membukanya. Perempuan muda berdiri dengan wajah mengantuk. "Apa yang sedang terjadi, Noy? Kepalaku makin sakit mendengar ribut-ribut di sini."
Noy sepertinya sedang kesal. "Dia memanjat jendela seperti maling." katanya.
Noy kemudian pergi, lalu membiarkan perempuan itu berdiri dengan wajah bingung. Tidak lama, perempuan itu masuk dan menghampiriku. Begitu membuka matanya dengan sempurna dan melihat ke arahku, dia terkejut.
"Ayah? Apa yang Ayah lakukan di sini? "
Aku masih terduduk di bawah jendela dalam pandangan yang mungkin susah dipercaya bagi Suzan. Dia kemudian mendekati dan duduk di sampingku. Kami terpekur berdua.
"Penampilan Ayah buruk sekali."
"Ayah terburu-terburu."
"Jadi, apa yang membuat Ayah jauh-jauh ke sini dan masuk lewat jendela?"
"Ponselmu mati, Suzan. Ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
"Oh, Ayah, aku sudah dewasa. Bisakah Ayah percaya kepadaku? Kepalaku sakit, tapi tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat tanpa gangguan apa pun."
"Ya, maafkan Ayah."
Suzan lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku mengelus kepalanya. Bagaimanapun, aku masih menganggap dia putri kecilku meski caraku salah. Namun, sebagai ayah, aku hanya ingin melindunginya. Itu saja.
Aku teringat satu film "Mathilda", kisah seorang gadis kecil dengan kekuatan khusus. Film itu membuka mataku, terutama di bagian seorang ayah yang berkata kepada gadis kecil itu. "Aku besar, kamu kecil, tetapi kesalahan bukan tentang siapa yang besar atau kecil. Aku berterima kasih dari lubuk hatiku, Anakku, sebab tanpa kamu, aku tidak bisa menjadi seorang ayah."
--Shyants Eleftheria, Life is a Journey--
Sekelumit tentang diri:
Shyants Eleftheria adalah seseorang yang ingin dikenal melalui tulisannya saja. Penyuka hitam dan putih ini pun hanya ingin membebaskan pikirannya dengan menulis tema apa pun yang disukainya tanpa terbebani oleh keharusannya menulis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H