"Tidak apa-apa, Noy. Ponsel Suzan tidak bisa dihubungi. Kupikir kalian berdua mungkin bersama."
"Sebenarnya tadi kami hendak pergi sama-sama ke pesta ulang tahun teman di sini, tapi di perjalanan, Suzan bilang, dia sakit kepala, jadi dia tidak bisa ikut dan pulang sendirian."
"Apa maksudmu dia sakit kepala?"
"Ah, tidak apa-apa. Aku pikir dia hanya tidak ingin datang."
"Apakah kamu tahu di mana dia, Noy?"
"Mungkin pulang. Tapi, aku yakin dia baik-baik saja."
"Terima kasih, Noy. Kembalilah ke pesta."
Aku segera menghubungi kembali nomor Suzan, tetapi lagi-lagi jawabannya sama, "Nomor yang Anda panggil sedang tidak aktif. Cobalah lagi nanti."
Kuputuskan untuk mengambil kunci mobil, sementara istriku tertidur lelap. Tanpa berpamitan dan tidak peduli dengan pakaian yang kukenakan, diam-diam aku keluar rumah dan melakukan perjalanan malam-malam.
Kembali aku menelepon Suzan, lagi-lagi jawaban yang kuterima dari operator yang sama bahwa nomornya tidak bisa dihubungi. Dadaku bergemuruh, pikiranku melayang-layang. Beginilah rasanya menjadi seorang ayah untuk anak yang masih delapan belas tahun yang pertama kalinya berpisah.
Awalnya, aku mempertentangkan semua keputusannya untuk mencari rumah indekos setelah dia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kota. Aku mengatakan kepadanya bahwa dia tetap bisa tinggal bersama kami karena dengan demikian kami tidak akan kesulitan memberi perhatian dan pengawasan langsung terhadapnya.