Aku berdiri dan bersiap hendak meninggalkannya, tetapi tangannya terlebih dahulu menahanku. Aku diam dan menatapnya penuh kekecewaan.
"Suzan, tolong maafkan aku. Ayolah, kita bisa mencoba menjalin hubungan yang baik, bukan? Ini sudah berakhir, sudah lama sekali. Kita seharusnya bisa bersikap normal lagi."
Aku duduk kembali dan mencoba menstabilkan emosiku.
"Dua tahun bukan waktu yang lama."
"Aku sangat merindukanmu, Suzan. Aku bahkan memanggil namamu ribuan kali."
"Tidak ada gunanya lagi sekarang. Kamu sudah tahu itu, kan?"
Aku menghela napas. Prayaga kemudian memajukan wajahnya, menatapku dalam-dalam dengan jarak dekat seperti hendak memahami pergolakan batin yang tiba-tiba kualami saat ini bahwa aku tidak pernah bisa keluar dari lingkaran perasaan kami meski kutepis dengan paksa---dan aku sangat membenci situasi ini.
"Suzan, apakah kamu bahagia sekarang?"
Oh, Tuhan, aku tidak ingin terjebak dengan pertanyaannya yang seperti menyudutkan hubunganku dengan Haris---dan aku tidak ingin bereaksi konyol. Aku bahagia memiliki Haris, begitulah jawabanku kepadanya.
"Sayangnya, sorot matamu tidak pandai berbohong."
Aku melengos ke arah jendela. Seandainya pun aku tidak benar-benar bahagia, aku tidak ingin mengubah keadaan berbalik seperti dulu walau kekacauan perasaanku tiba-tiba muncul.