"Grey, kau tahu aku tidak suka kau bicara seperti itu."
"Satu hal yang membuatku tetap ceria adalah mengetahui bahwa kau ada di sampingku. Dan bahwa seratus tahun dari sekarang, beberapa anak akan datang ke sini dan mereka akan melihat bahwa ada pasangan bernama Grey dan Suzan. Mereka akan bertanya seperti apa kita di dalam. Apakah kita bahagia atau apakah kita sedang jatuh cinta lagi."
Kami berpelukan---hangat. Sebagaimana awal, aku tidak pernah mengakhiri perasaan cintaku kepadanya. Dia suami yang baik, ayah yang baik. Justru akulah yang sering gegabah menjalani kehidupan bersamanya. Sesuatu yang mencemaskanku bahwa aku tidak ingin kehilangan dia.
Akan tetapi, takdir selalu mencetuskan keputusannya tanpa bisa dilawan. Seminggu kemudian, Greylah yang nyatanya mengisi makam kami terlebih dahulu. Dengan caranya yang manis, akhirnya aku merasakan dia tidak meninggalkanku, tetapi menungguku di lahan terbaiknya.
"Kita akan memulai lagi di sana, Grey." Aku mengusap air mataku, lalu melihat matahari senja, deburan ombak, dan camar-camar beterbangan dengan lengkingan mereka yang khas. Pemandangan terindah ini kusaksikan dari tembok pemisah antara pantai dan makam. Aku membenarkan kalimat Grey, pada akhirnya kita akan berakhir sendirian.
---
-Shyants Eleftheria, Life is a Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H