Telingaku menangkap suara debur ombak menerjang dan camar-camar berteriak nyaring saat Grey mengajakku pergi pada Sabtu sore di bulan Juli. Katanya, ada kejutan yang ingin dia tunjukkan kepadaku tepat di hari pernikahan kami yang ke empat puluh tahun.
"Grey, aku rasa ini menggelikan. Kau seolah-olah merahasiakan tempat ini, tapi aku sudah mencium aroma segar air laut. Jika ini salah satu kegilaanmu, aku sungguh terkejut karena---"
"Tolong jangan mengintip dulu, Suzan!"
"Aku tidak mengintip. Kakiku sakit berjalan jauh dan aku hanya ingin secangkir teh."
"Maafkan aku. Aku hanya ingin semuanya sempurna. Lagipula, ini hari jadi kita."
Grey memintaku bersabar, sedikit lagi, katanya, dan dia menyakinkanku bahwa sesuatu akan membuat aku bahagia. Kurasakan tangannya sudah mulai membuka ikatan kain penutup mataku, tetapi sepertinya dia mengikatnya terlalu kencang. Aku sudah tidak sabar dan rasanya ingin menangis. Entahlah, kurasa aku perempuan yang gampang menangis, pun tidak hanya dalam sedih, senang pun begitu.
Akhirnya kain merah penutup mataku terlepas juga. Perlahan-lahan aku membuka mata dan membiarkan pandanganku mengedari alam terbuka sambil menghirup udara segar---oh, damai dan tenteram.
"Happy anniversary, Suzan-ku." Kemudian tanganku mempresentasikan lahan rumput di bawahnya. "Taraaa! Bagaimana menurutmu?"
"Apa ini?"
"Ini untuk kita, kau dan aku. Bukankah indah?"
"Indah? Ta-tapi, Grey. Ini kuburan! Ini ulang tahun giok kita dan kau membelikanku kuburan? Kau tidak mengharapkan aku mati sekarang, bukan? Atau kau yang mau meninggalkanku segera? Hei, ada apa denganmu? Jangan membuat lelucon yang tidak lucu."
Entah apa yang ada di pikiran Grey. Dia bahkan mengatakan bahwa ini hadiah terbaiknya selama pernikahan kami. Meskipun sudah membayar mahal untuk semuanya, dengan lokasi pemandangan indah favorit kami, alam, pantai, ombak, burung camar, tetapi aku menganggapnya sebagai hadiah yang sungguh konyol. Dia seharusnya bisa membelikanku anting-anting atau kalung atau bros, maksudku, bukan barang mewah, aku hanya ingin sesuatu yang bagus dan normal.
Grey berbaring di atas rerumputan, lalu menggerakan tangan dan kakinya saling menyilang seperti kupu-kupu terbang dalam posisi tidur. Dia tak ubahnya bagai bocah laki-laki yang baru mengenal alam bebas.
"Kemarilah, Sayang. Ini area makam yang sangat bagus. Di sini cukup nyaman," katanya tanpa merasa bersalah.
Oh, Tuhan, aku hidup dalam mimpi buruk. Dari semua hal lucu yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun, aku bahkan masih gembira meski mendapat hadiah buruk berupa pakaian pelacur saat aku lima puluh tahun dan dia menunjukkannya ke semua orang. Lantas, apa hubungannya petak pemakaman dengan peringatan pernikahan giok kami? Aku curiga ada hubungan logis dan hal yang menarik di kepalanya.
Grey bangkit dari posisi tidurnya, membersihkan helai-helai rumput yang menempel di bajunya. Wajahnya seperti menyimpan cerita. Benar saja, kecurigaanku mulai terkuak saat dia mengatakan kalau dulu, ketika aku dua puluh dua tahun dan masih berpacaran dengannya, kami datang ke sini dengan motorku. Kami duduk di tembok pembatas makam, melihat matahari terbenam, dan aku mengatakan ingin dimakamkan di sini agar bisa menatap pemandangan ini selamanya.
"Itu sangat romantis, Suzan. Kau memberi kesan yang besar kepadaku."
Namun, aku benar-benar tidak yakin pernah mengatakan hal itu. Meski sudah berumur---biasanya ingatan pun sudah memudar---aku masih ingat dan meyakinkan diri bahwa dia salah mendengar. Aku ingat betul kalau kami tidak pernah pergi mengendarai motor. Kami selalu mengendarai mobil miniku saat pergi bersama ke mana-mana. Atau ... astaga! Aku ingat. Ya, Grey pernah berkencan dengan seorang gadis ke pantai ini mengendarai motor dan itu sebelum bertemu denganku.
"Grey, yang kau ingat itu Emilia. Dialah yang bicara begitu, bukan? Jadi, maksudmu, kau baru saja membelikanku kuburan perempuan lain untuk ulang tahun pernikahan kita?"
Grey terhenyak. "Tidak. Tolong jangan salah paham. Maksudku sebenarnya ini cukup lucu. Kita akan menertawakan ini besok."
"Apakah kamu benar-benar ingin mencoba menyakitiku?"
"Tidak, Suzan. Aku bisa menjelaskan. Aku hanya mencoba membuatmu bahagia."
"Kau mencoba dengan cara yang salah."
"Setidaknya aku mencoba!"
Tiba-tiba nada suara Grey meninggi. Itu membuatku terkejut dan tentu saja kecewa. Empat puluh tahun dari kegilaan ini sudah cukup. Aku berlalu meninggalkannya, menuju mobil kami yang terparkir di samping gazebo tua tempat peristirahatan para pengunjung makam.
Deburan ombak, suara camar, bantingan pintu, lalu aku menyalakan mesin mobil agar suhu air conditioner-nya bisa menyejukkan panas hatiku. Dengan terisak-isak, aku melihat ke cermin di bagian atas. Sudah setua inikah wajahku?
Grey mengetuk kaca mobil. Aku tahu dia akan menyusul. Kubiarkan dia masuk dan duduk di sampingku meski aku masih marah kepadanya.
"Nikmatilah hari-harimu bersama Emilia," kataku.
"Ayolah Suzan, itu sudah lebih dari empat puluh tahun yang lalu."
"Ya, aku tahu. Tapi, sepertinya, dialah yag masih segar dalam ingatanmu. Dialah orang yang ingin kau habiskan bersama selamanya sambil menatap matahari terbenam." Aku membelokkan tubuhku ke arah Grey, "berapa banyak gadis lain yang kau bawa ke sini dulu? Aku tidak mengenalmu di masa muda."
"Maafkan aku, aku tidak jujur. Ini kesalahan yang mudah dibuat karena ini--"
"Mengapa kau tidak membuatkan lubang untuk Emilia? Aku yakin dia ingin mengering untuk dikubur di dalamnya bersamamu."
"Dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Apa? Aku tiba-tiba tidak percaya melakukan pemikiran ini. Ini nyata. Maksudku, aku orang terpelajar, sementara Grey selalu membuatku merasa seperti kepala. Sepertinya aku adalah nenek tua yang membosankan dan membosankan.
Kami kemudian saling menatap. Grey kalah. Dia menunduk.
"Maafkan aku, Grey. Kau berusaha keras untuk melakukannya dengan benar."
"Aku tahu aku bodoh, Suzan. Aku tidak pantas untukmu dan tidak akan pernah."
Aku menggeleng. "Ini bukan tentang mengakhiri hubungan, kan?"
"Aku suka kau masih mencemburui Emilia dalam usia kita yang sekarang. Mungkin kau tidak akan paham bahwa aku memikirkanmu sejak dulu, maka aku menginginkannya menjadi kau. Selalu kau. Sejak kita masih muda, kau begitu cantik dan glamour. Gadis yang kaya, mewah, dan pintar. Sementara aku adalah laki-lagi sederhana, tidak berdaya di sisimu. Aku tahu, kau jauh dari kemampuanku menaklukkanmu. Kupikir, jika bisa bersamamu, aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan mencoba membuatmu bahagia. Dan setiap hari selalu akan berusaha lebih keras untuk memastikan kau tidak pernah mengalami hari biasa dalam hidupmu."
"Dan kau berhasil, Grey."
"Ya, setelah kupikir-pikir, itu ide gila, bahkan menurut standardku. Tapi aku tidak bisa berpisah darimu."
"Aku kira itu masuk akal. Maksudku, pada usia kita ini perlu memikirkan hal-hal itu. Sangat menakutkan menjadi tua."
"Anak anak sudah dewasa, mereka tidak membutuhkan kita lagi. Terkadang rasanya seperti berdiri di tepi lubang kosong yang besar. Dan terkadang aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa pada akhirnya, hidup akan berakhir sendirian."
"Grey, kau tahu aku tidak suka kau bicara seperti itu."
"Satu hal yang membuatku tetap ceria adalah mengetahui bahwa kau ada di sampingku. Dan bahwa seratus tahun dari sekarang, beberapa anak akan datang ke sini dan mereka akan melihat bahwa ada pasangan bernama Grey dan Suzan. Mereka akan bertanya seperti apa kita di dalam. Apakah kita bahagia atau apakah kita sedang jatuh cinta lagi."
Kami berpelukan---hangat. Sebagaimana awal, aku tidak pernah mengakhiri perasaan cintaku kepadanya. Dia suami yang baik, ayah yang baik. Justru akulah yang sering gegabah menjalani kehidupan bersamanya. Sesuatu yang mencemaskanku bahwa aku tidak ingin kehilangan dia.
Akan tetapi, takdir selalu mencetuskan keputusannya tanpa bisa dilawan. Seminggu kemudian, Greylah yang nyatanya mengisi makam kami terlebih dahulu. Dengan caranya yang manis, akhirnya aku merasakan dia tidak meninggalkanku, tetapi menungguku di lahan terbaiknya.
"Kita akan memulai lagi di sana, Grey." Aku mengusap air mataku, lalu melihat matahari senja, deburan ombak, dan camar-camar beterbangan dengan lengkingan mereka yang khas. Pemandangan terindah ini kusaksikan dari tembok pemisah antara pantai dan makam. Aku membenarkan kalimat Grey, pada akhirnya kita akan berakhir sendirian.
---
-Shyants Eleftheria, Life is a Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H