"Tidak, Suzan. Aku bisa menjelaskan. Aku hanya mencoba membuatmu bahagia."
"Kau mencoba dengan cara yang salah."
"Setidaknya aku mencoba!"
Tiba-tiba nada suara Grey meninggi. Itu membuatku terkejut dan tentu saja kecewa. Empat puluh tahun dari kegilaan ini sudah cukup. Aku berlalu meninggalkannya, menuju mobil kami yang terparkir di samping gazebo tua tempat peristirahatan para pengunjung makam.
Deburan ombak, suara camar, bantingan pintu, lalu aku menyalakan mesin mobil agar suhu air conditioner-nya bisa menyejukkan panas hatiku. Dengan terisak-isak, aku melihat ke cermin di bagian atas. Sudah setua inikah wajahku?
Grey mengetuk kaca mobil. Aku tahu dia akan menyusul. Kubiarkan dia masuk dan duduk di sampingku meski aku masih marah kepadanya.
"Nikmatilah hari-harimu bersama Emilia," kataku.
"Ayolah Suzan, itu sudah lebih dari empat puluh tahun yang lalu."
"Ya, aku tahu. Tapi, sepertinya, dialah yag masih segar dalam ingatanmu. Dialah orang yang ingin kau habiskan bersama selamanya sambil menatap matahari terbenam." Aku membelokkan tubuhku ke arah Grey, "berapa banyak gadis lain yang kau bawa ke sini dulu? Aku tidak mengenalmu di masa muda."
"Maafkan aku, aku tidak jujur. Ini kesalahan yang mudah dibuat karena ini--"
"Mengapa kau tidak membuatkan lubang untuk Emilia? Aku yakin dia ingin mengering untuk dikubur di dalamnya bersamamu."