Mohon tunggu...
Shofia Khairatun
Shofia Khairatun Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

penggiat sastra di waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salam dari Dalam Sunyi

17 Juli 2024   15:05 Diperbarui: 17 Juli 2024   23:56 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kamu bisa mendengarku?

Aku tahu, kamu yang berada nun jauh disana, mungkin berada di dimensi yang berbeda denganku, untaian kata ini tak terlalu jelas untuk didengar. Namun, ikatan batin yang kita miliki membuatku percaya jika kemustahilan ini akan terjadi.

Sebelum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bolehkah jika aku bertanya tentang kabarmu disana? Meskipun tanpa perlu kamu jawab pun aku sudah tahu, aku hanya ingin mendengarnya langsung dari dalam batinmu. Apa nilai matematikamu masih sama jeleknya? Apa cakrawala senja yang biasa kita lihat tak luntur keelokannya? Apa kamu masih bersikukuh jika rasi bintang orion adalah yang paling indah? Apakah dermaga itu masih sering kamu kunjungi, sama seperti saat sebelum aku pergi?

Aku tahu bahwa yang satu ini adalah pertanyaan yang bodoh, tapi apakah lancang jika aku bertanya keberadaanmu yang jelas tak baik-baik saja?

Tapi ingatlah, setidak baik-baiknya kamu disana, mungkin akulah yang paling buruk disini. Di sudut paling kelam, dalam kesunyian yang tak tahu hentinya.

Maaf, jika aku telah membiarkanmu sendirian di ujung dermaga, tanpa kepastian kapan aku bisa mendapatkan kepastian yang selama ini dipertanyakan.

Maaf, jika aku tak mengindahkan ucapan penolakanmu, membiarkan rasa gegabah membawaku pergi mengarungi lautan. Lautan yang malah menenggelamkanku dalam kesunyian.

Maaf, untuk setiap air mata yang luruh dari pelupuk matamu, yang malah membuat luka iti semakin menganga lebar. Yang malah membuat masalah ini semakin runyam.

Aku tak tahu, apa aku menyesali perbuatan ini atau tidak. Tak bisa menggapai tanganmu yang terjulur padaku, malah raib bersama harapan yang belum terwujud. Tai ada satu hal yang tak kusesali, setidaknya aku telah berusaha melindungimu, juga melindungi Nenek.

Meskipun kamu sendiri tahu bahwa usaha yang dilakukan belum tentu berbuah sesuai yang diharapkan.

Syaqila, apa kamu masih mendengarku? Atau kamu sudah terlanjur terlelap oleh kenyataan yang membutakan hatimu?

Mungkin aksara-aksara sendu ini masih belum mampu mengetuk hatimu yang terlanjur mengeras oleh kenyataan. Tapi aku berharap kamu tetap mau mendengar kisah sendu ini. Sebuah kisah yang tak tahu dimana ujungnya.

Jika benar ada keajaiban di dunia ini, berdoa saja semoga aku bisa kembali menginjakkan kakiku pada pulau sederhana nan indah itu. Semoga aku bisa melihatmu yang menyambutku tanpa air mata itu lagi. Semoga aku juga bisa mendapat jawaban dari setiap tanda tanya yang berenang-renang dalam benak. Semoga kita bisa bahagia kembali.

Aku tunggu kamu di ujung dermaga seperti biasa.

***

Aku langsung tersentak dari ranjangku, lalu menoleh ke aras ejndela yang terbuka. Langit masih gelap dengan beberapa gemintang yang bertebaran di sana. Ternyata jika dilihat-lihat masih pukul empat dini hari.

Aku menyeka peluh yang telah membasahi dahiku. Berusaha menetralisir nafas yang terengah-engah, meski pikiranku yang kacau tak bisa kunetralisir.

Sagara...barusan dia berbicara dalam mimpiku?

Bersama rasa acuh tak acuh akan keadaan sekitar yang masih gelap, tanganku bergerak membuka pintu rumah kemudian berlari menuju tempat biasa kami memandang sunset.

Aku tunggu kamu di ujung dermaga seperti biasa.

Sagara, aku mendengarmu!

Dalam sebuah gerakan yang dramatis, dengan rambut tergerai yang berkibar oleh angin dan air mata yang berusaha ditahan di pelupuk mata, langkahku menapaki dermaga kayu yang telah terbengkalai. Hingga tiba di ujung dermaga yang langsung disambut luasnya hamparan samudra. Tak ada hasil yang aku dapatkan selain sebuah kehampaan.

Tak banyak yang bisa aku lakukan disini. Hanya duduk dipinggir dermaga sembari menatap pantulan wajahku pada air laut yang gelap. Memantulkan wajah seorang yang putus asa, yang lagi-lagi melimpahkan air mata akan kepastian yang tak kunjung datang.

Sama halnya dengan anak kembar pada umumnya, aku dan Sagara juga sering bertengkar. Tapi mungkin karena dia satu-satunya keluargaku selain Nenek, aku berusaha untuk tidak menaruh amarah padanya. Kecuali pertengkaran kami yang terakhir kali, saat itu aku tak tahu harus seperti apa perasaan dalam batin didefinisikan. Terlalu rumit...

"Kenapa kamu harus ngelakuin hal bodoh itu?!" Aku sudah naik pitam, amarah ini tak bisa lagi dipendam.

"Kamu kalau dengerin penjelasanku tadi, harusnya kamu paham" Sagara tak mengalihkan pandangannya dari sebuah botol kaca yang tertutup rapat, berisikan pelepah pohon tua yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang tak kukenali.

Aku berdecak,"Gak gitu, maksudku-"

"Syaqila, coba dengerin dulu"

Kali ini Sagara mengalihkan pandangannya padaku dan meletakkan botol itu pada meja tak jauh darinya. Sorot matanya menatapku serius dengan tangannya yang bersedekap.

"Kamu tahu apa isi botol kaca itu? Ya, peta harta leluhur Kerajaan Majapahit yang diwariskan kepada keturunannya hingga sampailah di tangan orangtua kita. Orangtua kita tahu jika status keberadaan peta itu sudah tak aman lagi sekarang karena diperebutkan oleh pihak yang berniat jahat, maka mereka memutuskan menyembunyikan peta itu di pulau ini bersama kita yang masih belia. Kita dititipkan pada Nenek karena mereka takut jika kita hidup bersama mereka yang statusnya adalah buronan yang diincar, kita juga ikut dalam bahaya. Sejak saat itu orangtua kita hilang jejaknya entah kemana"

"Selama belasan tahun peta itu aman di rumah ini, sampai kemarin sekelompok orang asing ngelabrak rumah kita. Kami tahu kan, gimana orang-orang asing itu geledah seluruh sudut rumah kita, terus bentak-bentak kita dimana peta itu disimpan? Kita yang gak tau apa-apa juga gak bisa berbuat apapun"

Sagara membisu sejenak, memperhatikan lautan yang tenang lewat jendela yang terbuka. Dalam benakku pun terngiang sebuah ancaman yang dilontarkan oleh salah seorang dari orang-orang asing tersebut.

"Entah kapan kami akan kembali kesini lagi. Jadi sebelum kami datang lagi, peta itu sudah harus siap di hadapan mata kami. Kalau sampai peta itu tidak ada, kalian akan habis di tanganku!"

"Setelah dijelaskan Nenek, baru kita paham apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata peta itu ada di salah satu ubin rumah kita, dengan enkripsi pengaman sedemikian rupa"

"Dan situasi ini, harusnya kamu paham kita lagi dalam bahaya. Jadi aku bakal nyembuiin peta itu ke tempat yang gak mungkin diprediksi sama kelompok orang asing itu malam hari ini. Setelah aku pergi dari rumah ini, kamu sama Nenek harus pergi dari rumahini, biar orang-, orang asing itu gak ngelakuin hal berbahaya ke kalian, terus-"

"KAMU BAKAL PERGI MALAM INI?! Memangnya kamu bakal prgi kemana?!Pake kapal siapa?! Apa kamu gak mikirin perasaan orang-orang yang bakal kamu tinggalin?!"

Aku mengepalkan tanganku, bersamaan dengan air mata yang luruh tak tertahan.

"Aku bakal numpang kapal yang ngangkut hasil bumi pulau ini ke pulau seberang dan kapalnya bakal berangkat..satu jam lagi"

Aku menatap Sagara dengan tatapan nyalang, "Kenapa baru bilang sekarang?! Apa kamu sengaja bilang sekarang biar kamu gak nerima penolakan?!"

Sebagai jawaban, aku mendapati Sagara hanya menghela nafas berat.

Meskipun rasa kecewa sudah menumpuk dalam hati, tapi kepergian itu tak bisa dicegah, bahkan oleh Nenek sekalipun. Malam pukul 8, saat kapal itu akan melepas sauhnya, Sagara berpamitan pada kami dan hanya satu kata yang terucap dari mulutnya.

"Maaf"

Dengan perasaan campur aduk, aku tetap mengikuti semua petuah Sagara sebelum ia pergi. Aku dan Nenek untuk sementara mengungsi sejenak ke tempat lain. Kami memutuskan mengungsi ke mercusuar dengan alasan bahwa adanya kemungkinan jika mereka akan menyisir seluruh rumah warga hanya untuk mencari batang hidung kami. Untungnya, fisik Nenek masih cukup kuat untuk mendaki setiap anak tangga menuju lantai teratas pun sirkulasi udara di atas sana yang cukup baik.

Tak salah jika aku mengikuti titah Sagara karena bsok malamnya dermaga dipenuhi oleh kapal-kapal besar berisikan orang-orang asing itu. Dengan beringas mereka turun dari langsung menyerbu sebuah rumah paling ujung, rumah kami. Aku bisa menebak, mereka berseru-seru murka karena tak mendapati siapapun di rumah. Komplotan mereka menyisiri rumah warga, bertanya soal keberadaan kami bahkan samapi menggeledah rumah warga lain. Seakan tak puas, mereka membakar rumah kami sebagai bentuk kekecewaan sekaligus pembalasan pada kami. Membiarkan rumah kami lenyap perlahan oleh si jago merah.

Ya, hasilnya nihil karena benda yang mereka cari telah dibawa pergi oleh Sagara.

Yang lebih buruk lagi, pada malam saat Sagara pergi bersama kapal pengangkut hasil bumi, tersiar kabar jika terjadi badai siklon di perariran sekitar pulau kami. Dari situ bisa disimpulkan, jika tak ada kemungkinan baik yang akan terjadi.

Sampai Sang Bhaskara menyingsing dari peraduannya, aku masih berdiam diri di ujung dermaga. Menyaksikan sinar matahari pertama yang perlahan menyinari permukaan laut serta burung yang mulai bersorak seakan menyambut pagi.

"Nangisin Sagara lagi?"

Aku terkejut sebab tiba-tiba di sampingku berdiri seorang lelaki dengan jala ikan yang disampirkan di pundaknya, menunjukkan bahwa ia habis melaut.

"Bukan urusanmu, Zayn" Aku menghembuskan nafas malas, keberadaannya memutus kegiatanku melamunkan kejadian yang telah lalu.

Zayn, nama yang mungkin terlalu keren untuk seorang anak pelaut, teman dekat Sagara, seseorang yang selalu tidur di kelas dengan alasan habis membantu bapaknya melaut, tapi nilainya selalu bagus. Dia tetap berdiri di situ, menatap wajah sembabku sehabis menangis.

"Gak cuma kamu yang sedih, aku juga sedih. Dia yang catatannya biasa aku pinjem sekarang udah pergi"

Zayn tahu masalah ini. Aku yang menceritakan padanya pasca kejadian rumah kami yang dibakar. Zayn bertanya padaku saat sekolah, awalnya tentang Sagara yang absen sekolah. Kemudian aku menjelaskan pada Zayn apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah fakta yang membuatnya terkejut.

Lengang sejenak setalh Zayn selesai berbicara, memberi ruang bagi sekawanan burung yang beterbangan menarik atensi kami.

"Zayn, kamu peraya gak, apa keajaiban itu ada?"

Zayn menaruh jaringnya pada lantai kayu dermaga, kemudian memposisikan dirinya duduk di sebelahku. Menatap pantulan wajahnya dengan rambut berantakan pada ait laut yang tenang.

"Aku gak bisa bilang keajaiban itu ada atau gak. Tapi aku pernah mikir, dengan kita berharap ada keajaiban, kita jadi ada usaha buat bisa bertahan saja keadaan"

"Maksudnya?" Aku tak paham dengan maksud kalimatnya.

"Begini, kamu berharap akan ada keajaiban jika suatu saat Sagara akan kembali. Selagi kamu berharap akan keajaiban, kamu bakal berusaha baik-baik aja, berusaha tegar tanpa Sagara. Ya gak?"

Aku memperhatikan wajahnya lewat pantulannya pada air laut. Aku baru tahu jika ternyata Zayn bisa jadi orang yang bijaksana.

"Tapi kalau ternyata keajaiban itu gak ada?"

"Ambil hikmahnya, Mungkin dengan perginya Sagara, kita bisa mengambil pelajaran tentang pengorbana yang sebenarnya"

Matahari semakin meninggi, sinarnya pun semakin terang. Seakan menyemangati bahwa keajaiban memang benar adanya.

"Dahlah, aku mau pulang dulu"

Aku menatap Zayn yang bangkit berdiri, masih tertegun dengan semua petuahnya barusan yang bijaksana.

"Oh ya, bentar" Belumjauh dariku, Zayn mengambil sesuatu dari dalam jalanya yang kemudian dilemparkan kepadaku.

Pertama, aku terkejut karena tiba-tiba Zayn melemparkan benda itu kepadaku yang untungnya aku tangkap dengan baik. Kedua aku terkejut karena menyadari benda apa yang barusan kutangkap.

"Mungkin itu salah satu keajaiban? Botol itu gak sengaja ikut ke dalam jala waktu dipakai buat nangkap ikan" Zayn mengatakan hal itu sambil melenggang pergi, meninggalkanku yang masih terheran-heran.

Aku tahu benda ini. Sebuah botol kaca berisikan pelepah pohon tua yang bertuliskan huruf-huruf kuno, yang beberapa waktu lalu pernah ditunjukkan Sagara.

Peta harta warisan Kerajaan Majapahit.

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun