Ya, hasilnya nihil karena benda yang mereka cari telah dibawa pergi oleh Sagara.
Yang lebih buruk lagi, pada malam saat Sagara pergi bersama kapal pengangkut hasil bumi, tersiar kabar jika terjadi badai siklon di perariran sekitar pulau kami. Dari situ bisa disimpulkan, jika tak ada kemungkinan baik yang akan terjadi.
Sampai Sang Bhaskara menyingsing dari peraduannya, aku masih berdiam diri di ujung dermaga. Menyaksikan sinar matahari pertama yang perlahan menyinari permukaan laut serta burung yang mulai bersorak seakan menyambut pagi.
"Nangisin Sagara lagi?"
Aku terkejut sebab tiba-tiba di sampingku berdiri seorang lelaki dengan jala ikan yang disampirkan di pundaknya, menunjukkan bahwa ia habis melaut.
"Bukan urusanmu, Zayn" Aku menghembuskan nafas malas, keberadaannya memutus kegiatanku melamunkan kejadian yang telah lalu.
Zayn, nama yang mungkin terlalu keren untuk seorang anak pelaut, teman dekat Sagara, seseorang yang selalu tidur di kelas dengan alasan habis membantu bapaknya melaut, tapi nilainya selalu bagus. Dia tetap berdiri di situ, menatap wajah sembabku sehabis menangis.
"Gak cuma kamu yang sedih, aku juga sedih. Dia yang catatannya biasa aku pinjem sekarang udah pergi"
Zayn tahu masalah ini. Aku yang menceritakan padanya pasca kejadian rumah kami yang dibakar. Zayn bertanya padaku saat sekolah, awalnya tentang Sagara yang absen sekolah. Kemudian aku menjelaskan pada Zayn apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah fakta yang membuatnya terkejut.
Lengang sejenak setalh Zayn selesai berbicara, memberi ruang bagi sekawanan burung yang beterbangan menarik atensi kami.
"Zayn, kamu peraya gak, apa keajaiban itu ada?"