Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Lainnya - Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Marak Anak-Anak Keracunan Jajanan La Tiao

2 November 2024   00:00 Diperbarui: 2 November 2024   22:19 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Camilan la tiao (Foto:tangkapan layar TikTok Yuwen.kai)

Kasus keracunan makanan camilan viral la tiao dilaporkan terjadi di beberapa daerah di Indonesia saat ini. Korban kebanyakan adalah anak usia sekolah dasar. Laporan keracunan jajanan ini diterima dari Lampung (12 siswa SDN 1 Durian Payung), Sukabumi (16 siswa SDN Cidadap 1), Wonosobo, Tangerang Selatan, Bandung barat, Pamekasan, dan Riau. 

Para siswa yang keracunan itu mengeluh pusing, mual, dan ada yang sampai nyeri perut. 

Jajanan viral ini berasal dari China. Walaupun setelah dicek ternyata produk ini sudah ada izin edar BPOM-nya, namun ternyata kejadian luar biasa (KLB) keracunan ini terjadi. Namun dari berbagai media sosial, diketahui camilan ini banyak yang dibawa langsung dari China. 

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar meminta agar sementara ini masyarakat tidak mengonsumsi produk la tiao hingga investigasi BPOM selesai dilakukan. Hal ini karena dalam empat merek La Tiao yang sudah diperiksa ditemukan kontaminasi bakteri Bacillus cereus. 

"Sebaiknya kalau dia bawa tentengan dari luar negeri, jajanan camilan la tiao, dibuang saja, jangan dimakan, bila dimakan masih ada risiko terjadi seperti di tujuh lokasi KLB keracunan pangan. Jadi tujuan kami itu untuk mengingatkan bagi masyarakat tentu yang sudah menyimpan, segera dibuang, tidak perlu dimakan, mengingat ada risikonya. Dari 73 produk yang terdaftar di BPOM, juga kami hold sementara peredarannya," kata Taruna dalam konferensi pers, Jumat (1/11/2024), dilansir dari media Detik. 

Keempat jenis la tiao yang ditemukan mengandung Bacillus cereus adalah C&j Candy Joy Latiao, Luvmi Hot Spicy Latiao, KK Boy Latiao, dan Lianggui Latiao. 

BPOM telah menginstruksikan produk-produk ini untuk ditarik dan dimusnahkan.

"Harusnya kalau produk belum kedaluwarsa, tidak tumbuh bakteri, tetapi kenyataannya kan tumbuh bakteri dari hasil uji laboratorium. Berarti sebetulnya ini bisa jadi dari bahan pangan yang ada di dalam kemasan. Bisa juga karena aspek suhu, udara, atau aspek sterilitas waktu dikemas, akhirnya tumbuh, dari bahan itu," kata Taruna. 

Selain itu setelah pemeriksaan lebih lanjut di gudang importir, Taruna menyebut pihak importir tidak patuh pada aturan BPOM sehingga kontaminasi bakteri terjadi. 

Pertanyaan penulis adalah aturan BPOM apa yang dilanggar oleh importir yang disebut oleh Taruna? Hal ini tidak dijelaskan. 

Taruna mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia untuk melakukan takedown halaman-halaman penjualan la tiao di online.  

La tiao yang dibuat langsung dan bukan produk kemasan. (Foto: TikTok never Z)
La tiao yang dibuat langsung dan bukan produk kemasan. (Foto: TikTok never Z)
La tiao adalah produk pangan olahan dengan bahan dasar tepung gandum, tepung kacang kedelai panggang atau kinako, minyak cabai, dan aneka bumbu (garam, gula, dll). Teksturnya kenyal dan memiliki rasa pedas gurih. Bentuknya stik panjang berwarna merah. 

Perlu diketahui aslinya la tiao adalah camilan yang diolah dan dimakan langsung di China, jadi bukan dalam kemasan. 

Kontaminan Bacillus Cereus

Keracunan makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus adalah jenis keracunan akut karena mikroorganisme ini menghasilkan toksin.

Bakteri Gram positif ini sebenarnya tersebar luas di lingkungan kita dan umumnya ada di tanah. 

B. cereus dapat bertahan dalam keadaan suhu yang ekstrem baik panas, dingin, maupun kering karena kemampuannya untuk membentuk spora. Bakteri ini juga dapat membentuk biofilm, baik pada permukaan benda mati (abiotik) maupun jaringan hidup dan lapisan pellikel pada protozoa tertentu. 

Bacillus cereus dapat tumbuh pada bahan pangan seperti nasi, pasta, saus, produk-produk kue dan roti, sup, rempah-rempah, es krim, daging, susu, keju, maupun sayur-sayuran. 

Kontaminasi yang paling sering ditemukan adalah pada makanan-makanan yang dibuat dalam jumlah yang besar, seperti nasi, pasta, dan sayur-sayuran. Jadi makanan ini sebelumnya telah terkontaminasi B. cereus sebelum dimasak dan kemudian dibiarkan dalam jangka waktu lama di suhu ruangan.  

Spora bakteri ini dapat menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak bila berada dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pH di atas 4,8 dan temperatur antara 8-55°C dalam rentang waktu yang cukup.

Pernah ada istilah sindrom nasi goreng (fried rice syndrome) yang merujuk pada keracunan makanan akibat mengonsumsi nasi goreng yang dibuat dari nasi sisa atau nasi yang tidak disimpan di kulkas sebagaimana seharusnya. Tentu perlu diingat bahwa infeksi B.cereus tidaklah semata hanya disebabkan oleh nasi yang tercemar. 

Bacillus cereus perbesaran 10.000 kali di bawah mikroskop. (Foto: BCCDC Labs, LM)
Bacillus cereus perbesaran 10.000 kali di bawah mikroskop. (Foto: BCCDC Labs, LM)
Toksin penyebab keracunan

Galur atau strain Bacillus cereus dapat menghasilkan lebih dari enam jenis toksin. Lima di antaranya adalah enterotoksin dan satunya adalah toksin emetik. 

Enterotoksin adalah racun yang dihasilkan oleh bakteri atau virus yang mempengaruhi usus halus. Enterotoksin dari B. cereus antara lain enterotoksin T (BceT), enterotoksin FM (EntFM), hemolisin BL (HBL), enterotoksin nonhemolitik (NHE), dan sitotoksin K (CytK atau hemolisin IV). 

Beberapa strain B. cereus menghasilkan toksin emetik yaitu cereulide. 

B. cereus juga menghasilkan faktor-faktor virulen yaitu fosfolipase yang merusak membran mamalia dan hemolisin.  Faktor-faktor virulen adalah struktur-struktur sel atau kemampuan khusus suatu sel yang memampukan suatu mikroorganisme patogen untuk membentuk koloni, menempel pada inang, menginvasi, menekan sistem imun tubuh inang, mengambil nutrisi dari inang, dan mengenali perubahan lingkungannya. 

Kemampuan menginfeksi setiap strain B. cereus berbeda-beda tergantung dari toksin yang dihasilkan. 

Berdasarkan kemampuannya menginfeksi, B. cereus dibagi menjadi dua tipe, yaitu jenis yang menyebabkan sindrom emetik dan jenis yang menyebabkan sindrom diare. 

Sindrom emetik terjadi ketika mengonsumsi makanan yang telah terkontaminasi toksin cereulide yang dihasilkan oleh B. cereus . Gejala sindrom emetik yaitu mual, muntah, badan terasa lemas, dan diare ringan. Sindrom ini dapat dapat muncul 1/2-5 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi dan dapat hilang dalam waktu 6-24 jam. 

Sedangkan tipe sindrom diare terjadi ketika bentuk vegetatif dari B. cereus termakan dan melepaskan enterotoksin di usus halus. Enterotoksin inilah yang menyebabkan sindrom yang lebih parah yaitu mual, nyeri perut, diare yang disertai dengan darah atau lendir, dan terkadang demam. Gejala sindrom diare biasanya muncul 8-16 jam setelah mengonsumsi makanan yang tercemar dan berlangsung selama 12-24 jam. 

Kedua sindrom tersebut dapat terjadi pada satu pasien secara bersamaan, karena 5% strain B.cereus menghasilkan kedua jenis toksin, baik cereulide maupun enterotoksin. Dalam beberapa kasus, infeksi dapat menjadi semakin parah dan harus segera ditangani oleh dokter. 

Diperkirakan butuh lebih dari 10.000 B. cereus per gram makanan untuk menghasilkan cereulide yang cukup untuk menghasilkan gejala mual. Namun beberapa penelitian mengatakan jumlah yang lebih sedikit juga dapat menyebabkan seseorang di rawat inap di rumah sakit. 

Keracunan makanan akibat B. cereus memang jarang mengakibatkan komplikasi dan kematian. Namun kejadian fatal pernah dilaporkan yaitu tiga kematian akibat enterotoksin CytK yang bersifat nekrotik dan kematian karena toksin emetik dalam jumlah besar di dalam saluran pencernaan. 

Toksin emetik dalam jumlah besar pernah dilaporkan berasosiasi dengan kerusakan organ hati dalam waktu yang cepat yaitu hanya dalam waktu beberapa hari dan minggu (hepatitis fulminan). 

Orang-orang lanjut usia dan pasien dengan pH lambung yang lebih rendah (lebih asam) lebih rentan terhadap sindrom diare yang lebih parah. Resiko terjadi komplikasi juga lebih besar bila seseorang memiliki sistem imun yang lemah atau mempunyai gangguan sistem imun.

Selain infeksi saluran cerna, B. cereus juga dapat mengakibatkan infeksi mata. Hal ini dapat terjadi bila seseorang menyentuh makanan yang sudah tercemar B.cereus, kemudian tangannya menggosok-gosok mata tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Gejalanya berupa bengkak pada kelopak mata, mata terasa sakit, dan kadang dapat disertai demam. Biasanya infeksi ini sembuh sendiri dalam beberapa hari. Namun bila gejalanya semakin parah maka seseorang harus segera berobat ke dokter. 

Penanganan infeksi Bacillus cereus dengan metode RICE (Foto:Osmosis from Elsevier)
Penanganan infeksi Bacillus cereus dengan metode RICE (Foto:Osmosis from Elsevier)

Penanganan keracunan dengan RICE

Sebagian besar orang yang mengalami keracunan makanan akibat B. cereus dapat pulih sendiri tanpa penanganan. Namun diare yang berat dan terus berlanjut harus ditangani oleh dokter. 

Bila ada dugaan seseorang mengalami keracunan makanan maka haruslah segera ke rumah sakit yaitu ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan penanganan segera. 

RICE adalah singkatan yang dibuat untuk memudahkan tenaga kesehatan mengingat cara penanganan kejadian keracunan makanan atau infeksi yang disebabkan oleh B. cereus. 

R (rest) adalah istirahat. 

Tubuh perlu istirahat sehingga membantu sistem imun bekerja dan mencegah dehidrasi. Pemberian cairan vital untuk menjaga tubuh tidak dehidrasi, khususnya bila terjadi muntah berat dan diare.

I (intravenous antibiotics) adalah pemberian suntikan antibiotik pada kasus infeksi yang parah. 

Perlu diketahui pada sebagian besar kasus keracunan akibat B. cereus tidaklah memerlukan antibiotik karena dapat sembuh oleh mekanisme pertahanan alami tubuh. 

Pada kasus keracunan B. cereus sindrom emetik, toksin cereulide sudah ada pada makanan sebelum di makan. Muntah dan diare adalah mekanisme alami tubuh untuk mengeluarkan toksin ini.  Cereulide adalah toksin yang paling banyak berasosiasi dengan nasi yang terlalu lama disimpan pada suhu ruangan. 

Namun pada pasien dengan kondisi imun tubuh tertentu seperti mereka yang pernah menjalani transplantasi organ dan dalam jangka waktu lama menggunakan obat penekan sistem imun tubuh (imunosupresan), maka suntikan antibiotik diperlukan untuk mencegah infeksi bertambah parah. 

Pemberian antibiotik secara injeksi juga diperlukan untuk kasus infeksi B.cereus yang telah mencapai sistem peredararan darah (bakteremia), jantung (endokarditis), sistem saraf pusat (meningitis), dan mata (endophthalmitis). 

Pemberian antibiotik sedini mungkin terbukti berhasil mencegah infeksi B.cereus di luar saluran cerna bertambah parah . 

Secara umum beberapa B. cereus menghasilkan enzim B-laktamase sehingga otomatis resisten (tidak mempan) terhadap antibiotik Beta laktam seperti golongan penisilin dan cephalosporin.

Strain B. cereus secara umum masih sensitif dengan kloramfenikol, tetrasiklin, gentamisin, golongan fluorokuinolon (ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin), imipenem, dan golongan aminoglikosida (eritromisin, vankomisin). 

Untuk infeksi B.cereus yang berat, vancomycin adalah antibiotik pilihan utama. Antibiotik alternatifnya adalah carbapenem, golongan fluorokuinolon, dan golongan aminoglikosida lainnya. 

Namun beberapa isolat diketahui telah resisten terhadap eritromisin, tetrasiklin, clindamycin, carbapenem, cefazolin, cefotaxim, dan trimetoprim-sulfamethoxazole. 

C (Cool compresses) adalah tindakan mengompres bila pasien yang terinfeksi mengalami demam. Obat seperti parasetamol atau ibuprofen dapat diberikan untuk membantu. Namun bila tidak ada demam, tentunya bagian ini tidak perlu diberikan. 

E (Electrolyte replacement) adalah pemberian cairan dan elektrolit yang cukup untuk menghindari dehidrasi dan mengganti ion-ion tubuh yang hilang. Bila Anda di rawat di rumah, maka air kelapa adalah salah satu pilihan yang baik. 

Pencegahan keracunan

Hal yang terpenting adalah bagaimana kita menghindari makanan yang tercemar bakteri ini. 

Tips menghindari keracunan makanan akibat kontaminasi bakteri B. cereus antara lain:

  • Periksa tanggal kedaluarsa makanan. Jangan mengonsumsi produk yang sudah kedaluarsa.
  • Makanan harus disimpan pada suhu dan kondisi yang sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. 
  • Jangan biarkan makanan mentah atau yang seharusnya disimpan di kulkas berada terlalu lama di suhu ruangan karena hal ini dapat memicu pertumbuhan bakteri. 
  • Makanan harus diolah dengan bersih dan suhu yang tepat sebelum dikonsumsi. Bila memanaskan ulang makanan, pastikan suhunya mencapai paling sedikit 74°C . 
  • Jangan mengonsumsi makanan yang secara fisik sudah berubah seperti warnanya berubah, adanya tampilan seperti jamur, ataupun tercium aroma yang tidak sedap.
  • Senantiasa cuci tangan menggunakan sabun sebelum menangani atau mengonsumsi suatu makanan.

Dengan kejadian ini, kita juga berharap BPOM lebih memperhatikan pengawasan terhadap penyimpanan produk makanan oleh para importir. 

Menjadi pertanyaan apakah gudang para importir telah memenuhi kualifikasi untuk menyimpan produk-produk makanan impor ini sesuai dengan persyaratannya, mengingat suhu panas di berbagai daerah di Indonesia yang ekstrim sering terjadi karena pemanasan global.

Selain itu patut diduga bakteri-bakteri yang mungkin sudah ada pada produk pangan dapat berkembang ketika suatu produk disimpan oleh penjualnya dalam keadaan temperatur yang tinggi, misalnya terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama. Ataupun bakteri dan toksinnya telah ada dan kemudian bertumbuh selama produk melewati berbagai rantai distribusi.  

Menjadi pertanyaan juga mengapa tidak semua orang yang mengkonsumsi la tiao kemasan ini mengalami keluhan. Penulis melihat cukup banyak orang yang telah melakukan review terhadap aneka merek camilan kemasan ini. Apakah faktor usia anak-anak yang masih muda membuat mereka lebih rentan?

Apakah produk camilan yang di-review oleh berbagai influencer disimpan pada suhu kamar yang sesuai sehingga kualitasnya masih terjaga sehingga mereka tidak mengalami keracunan setelah memakannya? 

Ataukah produk yang menyebabkan para siswa keracunan tersebut memang sudah terkontaminasi sejak semula atau baru mengalami kerusakan dalam proses distribusi dan penjualannya? 

Penulis juga menghimbau sebaiknya anak-anak tidak diberikan camilan berupa ultra processed food (UPF) seperti la tiao yang tidak baik bagi kesehatan. UPF adalah makanan yang telah diproses secara industri dengan berbagai macam bahan tambahan, seperti pewarna, pengawet, dan perasa. 

UPF biasanya mengandung garam, gula, dan lemak yang tinggi. UPF bila rutin dikonsumsi akan memicu terjadinya kenaikan gula darah, tekanan darah, dan penimbunan lemak dalam tubuh. 

Pemberian jenis camilan yang diberikan kepada anak-anak perlu edukasi dan dikendalikan oleh baik pihak keluarga si anak maupun peran serta pihak sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun