Dia berpaling, tak tahan aku dorong perutku yang kian mengeras.
Maafkan Ibu, nak. Jika kau memang ingin pulang, maka pulanglah. Ibu meridhoimu.
"Pembukaan sembilan ...." teriak bidan yang sejak beberapa menit lalu menungguiku.
Pasrah, aku minta dia pecahkan ketubanku. Pertarungan yang sebenarnya baru dimulai. Aku harus dapat mengeluarkan bayiku sendiri, dengan sisa tenaga yang sudah terkuras beberapa hari terakhir. Ya, sendiri. Tanpa dukungan dan genggaman suami seperti kelahiran anak pertama.
Tanpa sadar, dengan apa yang kurasa, kematian pun membayangi. Namun, senyum cantik si sulung seolah menyemangatiku.
Bidan itu hanya bilang, "Ya, terus, pinter."
Hingga sisa tenaga terakhir mungkin dia merasakan kelelahanku. Tangannya sigap menarik perut, hingga akhirnya kepala bayiku keluar.
Harapan itu masih ada, aku berharap bayiku terbatuk, menangis dan bergerak seperti kakaknya dulu. Aku masih yakin itu meski keyakinannya sudah mulai pudar.
Ya, dia bayiku akan bersuara, dia akan menangis, aku yakin hanya agak telat seperti kakaknya.
"Bagaimana, Bu?" tanyaku.
"Sudah meninggal."