Apa aku setuju? Tepatnya tidak! Namun, cara dia bicara mampu membuat wanita mulia di sampingnya itu memberi respon percaya padanya. Seolah mengijinkan yang aku yakini itu mal praktek. Ibuku, gestur itu mendukungnya, tapi ia tidak mengakui dan hanya menyalahkanku yang jarang beraktifitas.
Katanya bayiku tidak normal, tanpa saran USG. Dia ibuku tidak tahu bahwa kehamilan ini berbeda. Aku akan sakit jika berjalan terlalu lama. Berbaring, adalah kenyamanan dari rasa pusing mendera. Flek yang pernah muncul, itu kekhawatiranku.
Kekhawatiran hebat muncul dari ucapan suamiku, sayangnya dia sedang dalam keadaan sakit hingga tak dapat bertindak lebih jauh setelah dengar kabar dariku, obat seharga dua ratus ribu itu dimasukan.
Hingga dua minggu setelah kejadian itu, akhirnya aku diharuskan berbaring di rumah sakit. Sejak awal kehamilan kedua ini, kandunganku memang terbilang agak lemah. Hingga bidan desa mengharuskanku untuk bedrest hingga kandungan memasuki usia enam bulan.
Siapa yang mencuci pakaianku selama ini? Dan aku berterima kasih pada suamiku. Ia tak mengijinkanku untuk melakukan hal itu. Ibuku, meski kadang ucapanmu menusuk hati, aku berterima kasih, bukan hanya materi yang kau keluarkan, tapi juga caramu menyediakanku makan.
Ya, dua orang itulah yang paling berjasa!
Ketar-ketir di antara pasien yang berjajar silih berganti dari ruang ponek menuju ruang rawat atau ruang penanganan.
Suamiku entah ke mana, ponsel kami memang habis baterai, sehingga mengharuskan dia untuk pergi sejenak.
Cek detak jantung untuk kedua kali setelah di puskesmas tadi. Bidan rumah sakit itu, dia tak menyerah mencari tanda-tanda kehidupan.
Aku bertanya, "baik-baik saja kan?"
"Sebentar ha, Bu ...." jawabnya, "nanti kita USG biar lebih jelas. Kalau bayinya masih ada (hidup), Ibu boleh pulang. Kalo udah gak ada, kita keluarkan paksa. Karena gak mungkin Ibu bawa lagi bayi yang udah meninggal, nanti bisa jadi racun untuk ibunya sendiri."