Sebuah bola karet, berhasil membuka satu pembukaan, hingga berangsur ke tiga.
Sakit? Ya! Bukan cuma lahir yang terus dirongrong obat perangsang kelahiran, tapi juga batin yang terus mendengar bayi pasien lain mengoar dengan keras setelah ia keluar dari rahim ibunya.
Aku menangis, di ruangan itu hanya aku seorang. Ya, tak boleh ditemani dengan alasan protokol kesehatan yang aku rasa tidak masuk akal. Bahkan suamiku harus sembunyi-sembunyi untuk dapat menemaniku sepanjang malam.
Dia suamiku terkejut, saat melihat air mata kian deras ketika ia datang.
Induksi mulai disuntikkan. Entah sudah ke berapa kali cairan menyakitkan itu terus masuk ke dalam botol infusan.
Sakit kian kuat. Bahkan aku yang semula bertekad untuk tidak bersuara itu, runtuhlah sudah. Panas kian menyiksa, bukan hanya di perut, tapi sekujur area panggul terkena imbasnya. Suamiku tak tahan ingin menemani, tetap tidak bisa dan ia lebih memilih pergi, entah ke mana. Lebih tepatnya menghindari suara-suara lengkingnya rintihan yang keluar dari mulutku.
Pembukaan empat ke enam itu terasa lama, entah berapa jam aku di biarkan sendiri.
Bayiku, bergeraklah, kumohon tendanglah perut Ibu. Aku yakin kau masih ada, kau masih di sana. Keluarlah, nak. Dunia ini lebih luas dari tempatmu sekarang. Ayo, demi Ibu, keluarlah.
Berulang kali kata hati itu muncul. Harapan itu masih ada, meski aku tahu tidak mungkin.
Perutku terasa kian menegang, dua hari sudah dirongrong rasa sakit yang kini kian luar biasa.
Bidan itu sibuk dengan laporan-laporan yang ia buat. Tak menghiraukanku yang terus meracau minta untuk di operasi.