Sebelas-dua belas seperti di Kalimantan, (kampung halaman saya sampai kapanpun, meski saya nggak asli sana :)). Di pedalamanKalimantan (ntah dimana, cuma sekedar nonton di tv – udah lama banget) juga terdapat kampung Muslim masyarakat Dayak yang meskipun sudah Islam, tetapi masih memelihara anjing dan babi – sekali lagi, karena sudah menjadi bagian dari adat sejak zaman dahulu kala.
Begitulah… Jadi, pelan-pelan saja.
Nah, back to the topic.
Misi hari ini gampang. Cuma mau mengajarkan dasar-dasar gerakan sholat dan berwudhu. Tapi, ternyata nggak semudah yang dibayangkan.
“Rohim, kalau berwudhu buang ingus dulu!!!!.”
“Sudah, ibu guru.”
“Mana? Coba lihat? Ko pu ingus masih nempel-nempel itu!”
Bahkan, pernah suatu ketika saya pergi ke lapangan dan mewawancarai seorang kepala rumah tangga yang tinggal bersama sekitar belasan anggota rumah tangga lainnya (saya lupa berapa) dan tidur di sebuah gubuk (karena menurut saya tidak pantas disebut rumah) berukuran sekitar 5x3 meter bersama babi-babi mereka. Hanya satu ruangan itu saja. Kandang babi dan tempat tidur cuma dibatasi sekat seperti pagar kayu lapuk. Tungku masak pun juga ada disitu. Buang airnya bagaimana? Jangan ditanya, kalau tidak di tanah lapang, ya di kebun. Tapi, selalu ada yang membuat saya terkejut.
“Sa pu anak sekolah dokter di Yawa (Jawa).”, kata si pace.
“Ohhhh, iyoo?”