“(malas jawab).”
Pertanyaan semacam itu kayaknya sudah terlalu sering ditanyakan setiap kali pulang kampung. Kebayang nggak kalau pertanyaan nya si bapak tadi saya jawab? Pasti bakalan ada pertanyaan-pertanyaan lanjutan lain yang kayaknya bakal nggak habis-habis dan berbagai macam komentar pun pasti muncul, mulai dari yangmengenaskan sampai yang menyedihkan, seperti “disana kan masih banyak orang-orang telanjang?” atau “bisa pulang nggak, tuh?”, atau “oh, Tolikara itu kan yang sering kebakaran itu, ya? Banyak perang suku kan disana?”
Kalau sudah begitu ya diamkan saja. Ntar juga berhenti sendiri nanya’ nya. Jahat, ya? Heheh
Tapi, ya sudahlah….
Dan sekarang waktunya akhir pekan. Hari Sabtu, saatnya ketemu bocah-bocah hitam-manis-ingusan-menggemaskan, yang kadang suka lari-lari sambil telanjang. Bukan. Ini bukan sekedar lucu-lucuan. Tapi memang kenyataan.
Di sinilah kami, berdua saja, saya bersama seorang teman perempuan, sebut saja Mbak Bunga. Di Distrik Megapura, salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya yang merupakan perkampungan masyarakat asli Muslim Pegunungan Tengah Papua. Mungkin masih banyak yang belum tahu bahwa ada masyarakat Papua yang asli Muslim sejak lahir. Bahkan, disini juga terdapat salah satu pesantren anak-anak asli Papua, yaitu Pondok Pesantren Al-Istiqomah yang berada di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya yang sekaligus menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Pegunungan Tengah Papua - meski jelas tidak sebesar yang ada di Jawa. Selain itu, juga terdapat sekolah berbasis Madrasah, yang diberi nama MTS Merasugun Asso.
Kadang banyak pertanyaan, “Mereka muslim, tapi kenapa masih pelihara babi dan anjing?”
Pertanyaan seperti ini sepertinya cuma bisa terjawab kalau pernah menginjakkan kaki secara langsung disini. So,u can see..
Di tempat seperti ini bisa dibilang hukum adat seakan berada di atas hukum negara. Meski hanya nampak tersirat saja. Sama hal nya seperti anjing dan babi yang memang sudah menjadi bagian erat dari tradisi dan adat mereka sejak zaman dahulu kala. Bukannya membenarkan, tapi bukankah Islam sejak dahulu tidak disebarkan secara paksa? Bukankah hukum khamr (minuman yang memabukkan) pun tidak lantas menjadi haram ketika awal-awal masa penyebaran Islam? Karena pada saat itu khamr memang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Arab Jahiliyah. Sampai pada akhirnya hukum khamr menjadi haram,dan masyarakat Muslim pun menyadari bahwa khmar hanya akan menghambat mereka dalam beribadah. Koreksi kalau saya salah, ya…
Tidak semua masyarakat Muslim Papua seperti itu, kok. Ada juga yang sudah memahaminya dan perlahan meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan agama. Tradisi potong jari yang sejatinya menyakiti diri sendiri pun, perlahan ditinggalkan.
Bahkan, pernah suatu ketika ada seorang Mama yang menangis. Si mama menangis karena tidak hapal Surah An-Naas. Plakkk! Seperti tamparan pada diri sendiri. Seumur-umur saya belum pernah menangis karena tidak hapal surah. Bisa berkaca dari sini…