Gadis itu terbangun di suatu pagi karena mimpi buruk, dia menemukan dirinya di atas lantai karena terjatuh dari kasur empuknya. Pagi ini berbeda dengan pagi sebelumnya, cuaca mendung. Ia memutuskan untuk naik kembali ke atas kasur yang terbalut seprai coklat kesayangannya.
Sejak kelas dua belas, tepat di penghujung masa sekolah menengah atas, gadis itu sudah merasa bimbang akan masa depannya.
Beban yang ia tanggung di pundak sebagai anak satu-satunya, semakin hari semakin berat. Dia Ayudia Amalia, gadis berumur tujuh belas tahun yang berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang supir becak dan ibunya bekerja di sebuah toko bunga.
Matahari sepertinya tidak bosan menyinari kami berdua. Ya, aku dan ayah sedang menyusuri jalan menggunakan becak yang ayah kayuh. Ayah memang biasa mengantarkan aku ke sekolah di sela-sela waktu dia bekerja.
Gadis berkerudung putih lengkap dengan atribut sekolah sedang berjalan menuju kelas. Gadis bermuka mungil itu berjalan melewati tengah lapang sambil menjinjing barang dagangannya. Ayu adalah anak yang penurut dan sangat berbakti kepada orang tuanya, dia membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan keripik buatan ibunya.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke kelas." Kata ayu sambil menghela napasnya
"Ayu, udah siap buat simulasi? Gue belum belajar Ayu, gue semalem ngebut nonton drakor. Ayu bantu gue dong." Dengan wajah yang memelas, Clarissa merengek seperti anak kecil.
Ayu tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi muka Ara, "apa yang bisa aku bantu Ra, kan kita beda ruangan."
"Oh iya, lupa hehehe. Yasudah lah sebisanya gue aja deh."
Ujian simulasi telah berlangsung hampir sembilan puluh menit, anak-anak sudah tidak sabar menunggu bel istirahat berbunyi. Tidak lama setelah itu akhirnya bel istirahat berbunyi anak-anak yang kelaparan langsung berhamburan menuju ke kantin berburu makanan. Berbeda dengan Ayu, ia tidak pergi ke kantin tetapi langsung berkeliling menjual barang dagangannya.
"Dagangan aku belum abis nih, gak enak sama Ibu" Ayu terlihat murung, tidak seperti biasanya dagangan Ayu belum.
"Ayu, menurut gue mending jualannya keliling sekali lagi yuk. Siapa tau ada yang mau beli iya kan? Yuk gue anter deh." Clarissa mengulurkan tangan sambil tersenyum.
"Makasih ya Ra, kamu baik banget sama aku." Ayu langsung bersemangat, ia berdiri dan menarik tangan Clarissa
Ayu dan Clarissa berjalan kegirangan di lorong kelas. Ayu memiliki kepribadian yang pendiam, Clarissa merupakan teman pertama di sekolahnya. Mereka sudah bersahabat hampir tiga tahun lamanya.
"Hey tukang keripik, sini dong mau beli." Anak laki-laki yang merupakan adik kelas Ayu itu memanggil Ayu dengan nada yang mengolok-olok.
Entah duri apa yang telah menusuk hati Ayu, tapi ini sangat menyakitkan, "tukang keripik? Aku punya nama, aku Ayu," dia bergumam dalam hati.
"Ra, ayo keliling ke tempat lain." Ayu pergi dari tempat itu dan berjalan menuju lorong kelas XII
"Kekurangan duit kali ya sampe dagang keripik receh gitu ke sekolah. Padahal di kantin juga banyak kali." Anak-anak itu membicarakan Ayu tepat ketika Ayu melewati mereka.
"Seenaknya banget ya lu ngomong. Jaga dong omongannya, bisanya minta duit orang tua juga sombong banget." Rangga datang, ia sangat emosi sampai wajahnya memerah.
"Yu, sabar ya jangan di ladenin. Kita ke kantin aja yuk laper nih." Clarissa menarik tangan Ayu dan berlari meninggalkan tempat tersebut.
Ayu sudah terbiasa dengan kejadian seperti itu, dia tidak mempermasalahkannya. Lagipula yang dia kerjakan itu pekerjaan yang halal. Kaya ataupun miskin tidak ada bedanya bagi dia. Miskin bukanlah kehinaan dan kaya bukanlah kemuliaan.
Ujian simulasi telah selesai. Bel pulang telah berbunyi, Ayudia pulang dengan penuh kebingungan. Berbeda dengan teman-temannya yang sangat berambisi untuk masuk ke PTN impian mereka, Ayu masih bingung akan masa depannya, dia masih tergulung kalang kabut.
Menghela nafas, "aku kuliah atau kerja ya, kalo kuliah biayanya darimana. Lagian aku bukan anak yang pintar yang bisa dapet beasiswa dengan mudah." Ayu menetas air mata saking bingungnya karena melihat kondisi orang tua Ayu merasa tidak akan mungkin bisa kuliah.
Setelah berjalan sekitar lima belas menit akhirnya Ayu sampai di rumahnya, rumah yang kecil sederhana yang dihuni oleh Ayu dan keluarganya.
"Assalamu'alaikum. Eh tumben ibu udah pulang kerja, gak ada masalah kan bu?" Ayu terkejut melihat ibunya, biasanya tidak ada siapapun di rumah ketika ia pulang sekolah.
"Ibu baik-baik aja kok nak." Ucapnya dengan nada yang lesu, wajah Minah berkeringat dan terlihat sangat lelah.
"Ibu terlihat kurang sehat, Ayu ke kamar dulu ya bu ambil obat." Sambil mengecek suhu tubuh Minah dengan menempelkan tangannya di kening ibunya.
"Tidak perlu nak, Ayu kamu kenapa nak, wajah kamu kusut sekali seperti baju yang belum disetrika." Ucapnya sambil mengelus kepala Ayu.
"Ah ibu ini ada-ada aja, gapapa kok bu. Ayu baik-baik aja." Ayu tersenyum, ia berusaha menutupi masalahnya.
"Kalo ada masalah cerita sama Allah, ambil wudu. Tenangkan pikiran kamu ya nak." Tangannya mengusap lembut pipi Ayu.
"Baik, Bu." Ayu langsung masuk ke kamarnya.
Ayu memang diajarkan seperti itu oleh ibunya. Daripada bercerita ke sesama, lebih baik bercerita langsung kepada yang maha kuasa. Untuk menenangkan hatinya Ayu langsung membersihkan tubuhnya, lalu ia membilas wajahnya dengan air wudu. Ayu hamparkan sajadah dan meminta yang terbaik dari tuhan yang maha kuasa.
***
Di sisi lain ada keluarga yang sangat kaya. Kekayaan tersebut sepertinya tidak akan habis tujuh turunan. Ayahnya Bimo Winata, seorang pembisnis kelas kakap. Ayahnya memiliki bisnis berlian di mancanegara. Ibunya Nathalie Clarita Winata, seorang sosialita yang membuka salon mewah yang cabangnya ada di seluruh Indonesia. Keluarga ini dikaruniai seorang putri cantik.
Gadis berseragam lengkap dengan atributnya, berjalan layaknya model yang sedang catwalk di atas red carpet. Mengarahkan titik fokus ke tengah lapangan. Tubuhnya yang lenjang, kulitnya yang putih bersih sebening kristal, membuat dia seperti seorang putri dari sebuah kerajaan. Dia bernama Chatrine Olivia Winata.
Chatrine merupakan gadis terpopuler di sekolah, wajar saja karena ia seorang anak konglomerat ternama. Meskipun begitu dia tidak sombong dan memiliki teman dari berbagai macam kalangan.
Dilihat dari luar kehidupan Chatrine begitu sempurna dan membuat iri semua orang. Tetapi itu salah besar, dia tidak pernah merasa bahagia. Yang ia lakukan hanyalah belajar untuk memenuhi ekspektasi ayahnya.
"Chatrine." Lelaki tampan ini melambaikan tangannya.
Ia dibuat membeku oleh pemandangan yang tersuguh di depannya. Seorang pria tampan menyapa di pagi yang cerah ini membuat harinya sempurna.
"Disapa, malah melongo, sapa balik dong." Ucap Reno
"Eh iya. Hai Ren, long time no see ya haha." Chatrine menjawab dengan nada yang kaku.
"Eh apa sih kamu kaku banget kayak ga ketemu seabad aja." Reno menepuk-nepuk pundak Chatrine
Chatrine memang susah berinteraksi dengan lawan jenis, karena ayahnya bilang pria yang bisa mendekatinya hanya pria pilihan sang ayah. Dia hanya sibuk belajar dan belum pernah merasakan memiliki pria spesial dalam hidupnya.
Chatrine berjalan meninggalkan Reno, ia berjalan menuju ke kelas bersama temannya yang bernama Anna
"Rin, pulang sekolah ke tempat les bareng ya." Anna merangkul pundak Chatrine.
"Maaf ya, kayaknya gabisa deh. Aku hari ini ada latihan balet." Ucapnya dengan nada bersalah.
"Oh iya, kamu ada pentas di balai seni itu kan. Kalo udah ada pembukaan pembelian tiket, kabarin aku ya." Ucapnya sambil tersenyum.
"Ok nanti aku kabarin." Ucapnya sambil merangkul Anna.
Bel pulang telah berbunyi anak-anak meninggalkan sekolah, kecuali yang memiliki ekstrakurikuler. Chatrine bergegas menuju ke tempat latihan karena kelasnya akan segera dimulai.
"Pak Dodo, jangan bilang ayah ya kalo aku ke tempat latihan." Ucapnya sambil merengek seperti anak kecil.
Pak Dodo tertawa melihat ekspresi Chatrine. Padahal ia sudah terbiasa membantunya, "siap tuan putri." Ucapnya sambil membukakan pintu mobil.
Chatrine memang tidak diperbolehkan oleh orang tuanya mengikuti kelas balet, karena menurut ayahnya itu tidak berguna dan akan menggangu nilai akademis anaknya.
"Sore, Miss. Maaf telat, tadi jalanannya macet." Ucapnya sambil ngos-ngosan.
"Ok. Cepat ganti baju kamu dengan kostum pementasan." Ucap pelatihnya dengan nada tegas.
"Siap, Miss." Chatrine langsung lari terbirit-birit menuju ruang kostum.
"Rin, kamu bisa gak sih gak gunain kekuasaan keluarga kamu di tempat latihan." Kata Andini. Teman kursus Chatrine.
"Maksudnya apa sih din? Aku kan baru dateng." Wajahnya penuh kebingungan.
"Jangan mentang-mentang kamu anak konglomerat, kamu jadi pemeran utama buat teater nanti. Secara kan kemampuan kamu ada di bawah aku." Ucapnya sambil mendorong Chatrine
"Maaf ya din, tapi yang pilih aku itu miss sendiri dan itu atas kemampuan yang aku punya." Chatrine meninggal tempat itu  menuju aula teater.
Chatrine telah selesai latihan, ia merasa bahagia karena balet adalah sarana untuk ia mengekspresikan perasaannya. Ia langsung bergegas pulang, sesampainya di rumah suasananya berbeda. Entah akan ada badai apa yang terjadi
"Hai bunda, Chatrine pulang. Wah bunda masak makanan kesukaan aku semua." Chatrine kegirangan
"Iya dong, kan khusus buat anak kesayangan bunda." Nathalie mengelus rambut putri kesayangannya itu.
"Bunda, aroma makanannya sangat menggugah selera. Chatrine gak sabar mau coba." Ucap Chatrine sambil tersenyum
"Chatrine cuci tangan dan langsung duduk. Ayah mau bicara sama kamu." Raut wajah Bimo terlihat sangat emosi.
"Baik, ayah." Ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
"Duduk. Jujur sama ayah. Kamu masih ikut kelas balet yang tidak berguna itu?" Suara pukulan meja yang dibuat Bimi terdengar sangat keras.
Chatrine terkejut. Jantungnya seperti akan keluar, "Iya ayah, aku kan udah nurutin semua mau ayah, jadi boleh dong aku ikut kelas balet." Ucapnya dengan suara yang bergetar.
"Mau jadi apa kamu? Itu tidak akan berguna bagi masa depan kamu. Kamu harus les bahasa dan bisnis agar bisa jadi penerus bisnis ayah nanti." Suara Bimo terdengar begitu keras, ia membentak putrinya.
"Ayah udah dong. Jangan dibentak gitu kasian Chatrine." Nathalie mengelus tangan Bimo, ia berusaha meredam emosi suaminya.
"Apa aku gabisa ngelakuin apa yang aku suka? Aku ingin seperti anak lainnya yang diberikan kebebasan untuk memilih masa depan mereka." Ucapnya sambil menangis.
"Anak ini, di kelas balet kamu diajarkan untuk membatah orang tua!" emosi Bimo semakin menjadi-jadi
"Aku mau jadi seorang balerina." Suara pecahan kaca terdengar, Chatrine melemparkan piringnya ke lantai.
"Anak tak tahu diri."
***
Toko bunga Florist menjual berbagai macam bunga. Toko bunga ini cukup terkenal di kalangan menengah sampai atas. Bu Minah orang tua Ayu bekerja di toko tersebut sebagai pelayan.
"Bu Minah, tolong bunga ini dipindahkan ke guci besar itu ya." Kata pemilik toko bunga florist
"Baik bu, saya akan segera membereskannya." Minah segera melakukan pekerjaannya
Suara benda jatuh terdengar, sebuah benda yang harganya sangat mahal terjatuh dan pecah berkeping-keping. Guci mahal beserta tanamannya rusak.
"Bu Minah! Apa yang ibu lakukan, ibu menghacurkan semuanya." Amarah pemilik toko memuncak
"Maa..maaf bu, saya tidak sengaja." Minah berbicara dengan terbata-bata
"Hari ini ibu saya pecat! Ibu harus ganti rugi, ibu tidak akan mendapatkan uang pesangon sepeserpun. Pergi dari sini." Pemilik toko mendorong dan mengusir Minah dari tokonya.
"Tapi bu, saya butuh pekerjaan ini." Ucapnya dengan derai air mata.
Minah adalah ibu dari Ayudia Amala, dia bekerja untuk membantu meringankan ekonomi keluarga. Di tengah rintik hujan dia berjalan dengan penuh kehampaan, sesampainya ia di rumah Ayu langsung menyambutnya dengan gembira.
"Ibu sudah pulang. Bu ayu masuk ranking paral-" Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya dia melihat ibunya menangis
"Ibu. Ibu kenapa? Ayo bu cerita ke Ayu." Ayu memeluk ibunya dan berusaha menenangkannya.
"Ibu dipecat nak." Suara tangisnya semakin menjadi.
Ayu terkejut. Tetapi ia berusaha tenang, "Oh begitu, yang sabar ya bu. Semoga kedepannya Ibu bisa dapat pekerjaan yang lebih dari itu."
Tidak berlangsung lama, ayahnya pulang ke rumah dengan luka-luka di tubuhnya.
"Assalamualaikum." Joko datang sambil meringis kesakitan
"Astagfirullah ayah kenapa?" Ayu terjekut.
"Ayah jatuh di jalan nak. Ayah baik-baik saja hanya terkilir sedikit." Ucapnya sambil menahan rasa sakitnya.
"Terkilir sedikit bagaimana? Kaki ayah bengkak sekali loh. Ke rumah sakit ya yah, Ayu anter."
Badai datang ke dalam keluarga Ayu. Ayu benar-benar bingung sekarang, sang ayah mengalami cedera di kakinya dan sang ibu dipecat dari pekerjaannya.
***
Acara pentas seni tahun 2020 akan segera dimulai. Chatrine begitu bersemangat karena ini acara yang sangat penting baginya.
"Pak Dodo ayo berangkat." Ucapnya dengan nada pelan.
"Maaf memangnya tuan putri diizinkan oleh pak bos?" Ucapnya dengan suara keras karena terkejut.
"Pak Dodo jangan berisik. Kita pergi diam-diam. Chatrine udah izin sama bunda mau nginep di rumah Bella." Chatrine langsung menaiki mobil.
Cuaca pada malam itu membuat penglihatan Pak Dodo kabur. Tidak disangka dari arah berlawanan muncul kendaraan besar beroda empat menghantam mobil yang dikendarai nya.
"Pak Dodo awas!" Chatrine berteriak.
Kecelakaan yang dialami keduanya cukup parah. Hingga banyak polisi, orang-orang medis, dan wartawan datang langsung ke TKP. Chatrine dan supirnya langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Dok, selamatkan anak saya. Berapapun biayanya pasti akan saya bayar." Nathalie terlihat sangat ketakutan. Ia takut kehilangan anak dia satu-satunya.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin." Ucap dokter sambil menutup pintu ruang operasi
"Apa ayah bilang bun, balet itu tidak baik untuk Chatrine. Lihat dia sampai kecelakaan parah seperti ini." Bimo terlihat sangat emosi
"Sudahlah yah, anak kita sedang butuh dukungan kita." Nathalie menepuk-nepuk pundak suaminya.
Pendarahan hebat terjadi pada Chatrine. Ia membutuhkan banyak donor darah, tetapi stok darah di rumah sakit tersebut habis.
"Pak, Chatrine membutuhkan donor darah secepatnya. Darah yang sudah bapak donorkan barusan tidak cukup pak, kebetulan stok golongan darah A sedang kosong pak." Kata Suster
"Baik Sus, saya akan cari secepatnya." Bimo langsung menelpon orang kepercayaannya.
Relasi yang dimiliki oleh Bimo membuat kabar mengenai dibutuhkannya donor darah menyebar luas dengan cepatnya. Kabar tersebut juga telah terdengar oleh telinga Ayu.
"Golongan darah aku juga kan A. Bu aku mau bantu orang itu kasian." Ucap Ayu
Ayu meninggalkan ruang IGD dan bergegas menuju ruang operasi.
"Selamat malam pak, saya Ayu. Saya dengar anak Bapak perlu donor darah, kebetulan golongan darah saya A pak." Ucap Ayu sambil ngos-ngosan.
"Syukurlah. Terima kasih ya nak, silahkan ikuti suster ini." Ucapnya sambil menunjukan jalannya.
Masa kritis Chatrine telah usai. Kini hanya tinggal menunggu waktu sampai Chatrine sadar.
"Syukurlah Chatrine sudah melewati masa kritisnya. Tapi pak Chatrine divonis lumpuh total akibat trauma yang telah dialaminya." Ucap dokter
"Lumpuh total dok?" Nathalie sangat syok mendengar perkataan dokter
"Betul, Bu." Ucap dokter dengan berat hati.
Mimpi buruk datang menghampiri hidup Chatrine. Mimpinya untuk menjadi seorang balerina telah usai.
"Bun, kita harus cari pembantu yang sebaya dengan Chatrine. Kita tidak mungkin meninggalkan bisnis." Ucap Bimo
"Ayah. Chatrine anak kita satu-satunya, bisnis tidak penting." Ucap Nathalie dengan nada kesal.
"Tidak penting apanya, kita hidup mengurus Chatrine itu memerlukan uang bun." Bimo mulai emosi.
Ayu tidak bermaksud untuk menguping tetapi pertengkaran yang terjadi itu cukup hebat. Hampir semua orang di rumah sakit mendengarnya.
"Maaf pak. Saya dengar bapak butuh pembantu untuk mengurus anak bapak." Ucap Ayu dengan suara yang bergetar.
"Anak kecil jangan ikut campur." Ucap Bimo dengan kesal.
"Bukan begitu pak, maksud saya itu saya bersedia untuk jadi pembantu anak bapak." Ucap Ayu berusaha meyakinkan.
"Ok. Mulai minggu depan datang ke alamat ini." Nathalie memberikan kartu namanya.
***
Kabar baik datang. Ayu mendapatkan tawaran yang sangat menarik untuk masa depannya kelak
"Yu ini formulirnya. Om aku bilang ini beasiswa penuh tapi universitas swasta." Ucap Rangga
"Alhamdulillah atas izin Allah akhirnya do'a aku terkabul Ga. Allah ngasih jalan lewat kamu, makasih ya." Tanpa berpikir panjang Ayu langsung mengisi formulir tersebut
Berkat do'a yang Ayu panjatkan setiap hari. Akhirnya impian Ayu tercapai, dia bisa menjadi seorang mahasiswa dengan beasiswa penuh di sebuah universitas swasta.
"Alhamdulillah ya nak, semoga lancar kuliahnya. Terima kasih nak Rangga." Ucapnya sambil memeluk Ayu.
"Iya bu sama-sama." Ucap Rangga
"Bu, Ayu juga mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu seorang gadis yang baru mengalami kecelakaan. Bayarannya gede bu lumayan buat bantu ibu dan bapak." Ayu berusaha meyakinkan orang tuanya.
"Ibu dan bapak masih sanggup membiayai sekolah kamu nak, kamu tidak perlu bekerja." Ucap Minah
"Gapapalah bu, lagian Ayu pilih kuliah kelas karyawan. Itung-itung Ayu menghabiskan waktu aja sebelum kuliah." Ucap Ayu
"Yasudah terserah kamu nak. Yang penting kamu jangan kecapean." Ucap Minah
"Siap, Bu."
***
Waktu begitu cepat berlalu. Chatrine sudah diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan. Ia terlihat sangat murung, seperti tidak ingin melanjutkan hidupnya
"Apa gunanya ini, enyah kalian semua dari kamarku" Chatrine menangis sambil merobek-robek semua baju balet nya
"Chatrine kamu tidak boleh seperti ini. Hidup akan terus berjalan, Bunda yakin akan ada jalan lain yang lebih baik untuk kamu," Bunda mengelus rambut Chatrine
Malam datang. Gadis itu tidak bergerak dari posisinya sejak malam. Ia meratapi kehidupannya, mimpinya telah pupus.
"Mimpiku menjadi seorang balerina telah usai. Dengan kaki cacat ini aku tidak akan bisa menari, aku telah kehilangan segalanya." Ucapnya sambil menangis.
Di tengah isak tangisnya tidak sengaja ia tertidur, dia bermimpi tentang kejadian yang telah menimpanya
"Pak Dodo awas!"
Napasnya menggebu-gebu, jantungnya berdetak dengan kencang, "astaga, mimpi itu terlihat sangat nyata, aku takut." Ucap Chatrine
Dia mengalami gangguan kecemasan karena kecelakaan yang dialaminya. Di rumah yang sangat mewah fasilitas yang memadai pembantu yang jumlahnya puluhan tetapi tidak seorang pun yang menyadari apa yang terjadi padanya. Yang ia rasakan hanya hampa. Yang bisa ia lakukan hanya meneteskan air mata.
***
Pagi yang cerah berawan mengawali hari pertama Ayu bekerja sekaligus kuliah. Ayu sangat bersemangat
"Pagi nak. Sarapan dulu ya, Ibu udah masakin nasi goreng kesukaan kamu." Ucap Minah sambil tersenyum.
"Siap bu, makasih ya." Ayu menyantapnya dengan lahap.
Suara klakson berbunyi di depan rumah Ayu. Ia sudah tahu bahwa Rangga yang datang ke rumahnya
"Eh Ga. Ngapain kesini pagi-pagi, mau numpang sarapan?" Ucap Ayu dengan nada meledek
"Iya dong laper nih hehe." Rangga tertawa dengan wajah tanpa dosa
"Eh nak Rangga. Ayo masuk." Ucap Minah
Rangga sahabat Ayu sejak di bangku SMP. Dia sangat dekat dengan Ayu dan juga keluarganya
"Engga bu. Bercanda kok, Rangga dateng cuman mau jemput Ayu." Ucap Rangga.
"Dih tumben baik banget." Ayu meledek Rangga lagi
"Ciee jadi Maba." Rangga tertawa terbahak-bahak
"Apa sih Ga. Nyebelin banget." Ayu mencubit tangan Rangga
"Udah-udah kalian kebiasaan bertengkar terus." Ucap Minah
"Bu, Ayu berangkat do'ain yaa." Ayu mencium tangan ibunya.
Sesampainya Ayu di rumah Nathalie, ia dibuat takjub oleh pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ayu tidak menyangka bisa menginjakkan kakinya di sebuah istana mewah seperti ini.
Ayu memencet bel rumah tersebut, "pagi, ada yang bisa saya bantu?" Ucap satpam.
"Pagi Pak, saya Ayu yang waktu itu di rumah sakit," Sambil menyodorkan kartu nama yang ia dapatkan sebelumnya
"Oh iya. Silahkan masuk." Pak satpam membuka pintu gerbang.
"Terima kasih pak." Ucap Ayu
"Kamu anak di rumah sakit itu ya, Langsung aja ke atas, ke kamar Chatrine. Bi ijah antarkan anak ini" Ucap Nathalie.
"Baik Nyonya."
Ayu sangat senang bekerja di sini. Pemandangannya begitu indah, membuat ia berkhayal ingin memiliki rumah sebesar ini.
Bi Ijah mengetuk pintu kamar Chatrine "Pagi tuan putri, ini ada Mbak Ayu yang akan bantu tuan putri bersiap."
"Masuk." Ucap Chatrine tanpa basa-basi.
"Hai aku Ayu. Kamu pasti Chatrine, wah kamu sangat cantik layaknya seorang tuan putri." Ucap Ayu dengan suara lantang.
"Cerewet banget." Chatrine mengeluarkan muka malasnya
"Eh maaf ya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ambil baju putih di lemari nomor 2, rok selutut warna hitam di lemari no 4, iketan putih di laci sama cardigan putih di lemari no 1." Ucap Chatrine tanpa ragu.
Ayu ternganga, "Tuan putri sungguhan. Eh siap aku ambilkan."
"Ok. Terima kasih aku udah siap, tolong anter ke bawah mau sarapan."
"Hah? Digendong?" Ucapnya kebingungan.
"Keep calm. Di sini ada lift kok." Chatrine tersenyum.
"Oh haha baru tau. Maaf ya." Ucap Ayu
Hari-hari Chatrine mulai berwarna sejak kedatangan Ayu, sudah dua bulan Ayu bekerja di rumahnya untuk mebantu Chatrine. Sifat Ayu yang ceria membawa perubahan bagi Chatrine.
"Ayu. Kamu kok bisa sih hidup susah kayak gitu. Kamu harus kerja padahal kamu lagi kuliah." Ucap Chatrine
"Iya. Emang kenapa lagian aku udah biasa kok hidup susah. Semuanya akan indah pada waktunya." Ucap Ayu sambil tersenyum.
"Aku salut sama kamu Yu. Aku jadi merasa malu, aku hidup serba mewah tapi tidak pernah bersyukur." Chatrine menepuk-nepuk pundak Ayu.
"Mulai sekarang kamu harus bersyukur ya Rin. Kamu cantik, pinter, berbakat. Kamu gaboleh sia-siakan hidup kamu." Ayu memeluk Chatrine.
"Ngomong-ngomong aku kan homeschooling sekarang. Aku udah tau banyak tentang bisnis. Menurut aku semangat kerja kamu jangan di sia-siakan." Ucap Chatrine dengan semangat.
"Maksudnya gimana?" Ayu kebingungan
"Menurut aku kamu buka bisnis aja. Ibu kamu kan suka merawat bunga, nah kamu buka toko bunga aja." Ucap Chatrine meyakinkan Ayu.
Ayu mengerutkan dahinya "tapi aku belum punya modal, rumah aku juga gak strategis buat buka toko."
"Kamu gak perlu khawatir. Aku ada ruko gak kepake, kamu bisa pake itu buat toko bunga ibu kamu." Chatrine berusaha meyakinkan Ayu
"Ah aku gamau ngerepotin kamu Rin." Ucap Ayu
"Gapapa Ayu. Mau ya?" Lagi-lagi Chatrine berusaha meyakinkan Ayu.
"Oke. Aku coba, nanti aku akan ganti semuanya kalau bisnis ini berjalan lancar. Bismillah." Ucap Ayu dengan nada bersemangat.
Ayu pulang ke rumah karena ia telah selesai membantu Chatrine. Hari ini Ayu merasa bahagia di bawah cuaca yang teduh sore itu, dia berjalan menuju rumah sambil membawa kabar bahagia untuk ibunya.
"Assalamu'alaikum bu. Ayu pulang." Ayu tersenyum
"Kamu kenapa nak. Bahagia sekali." Minah penasaran
"Kita bakalan buka toko bunga bu. Ibu bisa jual bunga ibu di toko sendiri sekarang." Ayu memeluk ibunya.
"Yang bener kamu nak." Minah tidak percaya dan masih kebingungan
"Bener bu. Chatrine bantu aku, mudah-mudahan semuanya berjalan lancar. Jadi kita bisa lauching tokonya secepatnya."
"Alhamdulillah terima kasih banyak ya nak." Minah memeluk Ayu.
Tahun telah berganti. Tren tahun ini kebetulan adalah bunga hias, harganya melonjak tinggi hingga ratusan juta rupiah. Toko bunga Florist milik Ayu berkembang dengan pesat, sekarang Ayu juga membuka sebuah kedai kopi di sebelah toko bunganya.
"Bu Minah, saya pesan bunga Aglonema dan guci nya yang paling bagus ya bu. Alamatnya di Perum Pelita harapan Blok C, nanti antar kesini ya bu." Ucap pelanggan yang menelpon.
"Baik, Bu. Secepatnya kami antar ke alamat ibu ya." Minah menutup telepon dan bergegas menyiapkan pesanan
"Bu omset toko naik dratis bu tahun ini. Alhamdulillah." Ucap Ayu kegirangan.
"Alhamdulillah ini juga berkat kamu nak." Minah mengelus tangan Ayu.
"Hai Bu Minah. Apa kabar?" Ucapnya sambil mengulurkan tangan
"Eh ada anak cantik, ibu baik-baik saja Chatrine."
"Wih cafe nya bagus banget Yu. Good luck ya." Chatrine sangat bahagia melihat sahabatnya bisa sesukses ini.
"Ini berkat kamu Rin. Ngomong-ngomong rencana buat tempat kursus balet gimana?" Ucap Ayu
"Semuanya baik. Ayah dan bunda kasih restu sekarang, karena itu bisnis yang menjanjikan."
"Alhamdulillah. Semangat ya."
"Makasih ya atas dukungan kamu selama ini. Kamu bener-bener malaikat baik." Ucapnya sambil memeluk Ayu
Kerja keras Ayu membuahkan hasil. Dia menyelesaikan kuliahnya, dia mendapatkan gelar sarjana manajemen dengan nilai tertinggi di kampusnya. Berkat do'a dan dukungan orang tua hal yang mustahil bisa menjadi kenyataan.
***
Dua tahun telah berlalu, Ayu sudah semakin dewasa sekarang dan sudah mulai memikirkan pernikahan sekarang.
"Yu kamu serius mau ta'aruf?" Ucap Rangga dengan nada kesal.
"Iya. Aku mau menjeput jodoh aku dengan cara terbaik Ga." Ucap Ayu
"Kenapa harus repot-repot gitu sih Yu. Kenapa gak nyari yang deket. Contohnya aku." Ucap Rangga dengan nada cemburu.
"Emang kamu mau sama aku Ga?" Ayu tertawa terbahak-bahak
"Ya engga juga sih." Rangga berbohong. Dia menutupi perasaannya.
"Tuhkan. Do'ain ya Ga sore ini aku bakalan tukeran CV sama calonnya." Ucap Ayu
"Iya, Yu. Semoga berjalan lancar ya." Rangga akan merelakan Ayu karena jalan yang Ayu pilih adalah jalan terbaik.
Hari terus beganti, tahun demi tahun sudah Chatrine lewati dengan kondisi lumpuh. Sekarang dia sudah terbiasa dengan keadaanya. Berkat dukungan Ayu, dia menjadi lebih kuat.
"Yu bantu aku ke kamar mandi." Chatrine berteriak memanggil Ayu.
"Mba Ayu belum datang tuan putri." Ucap bi Ijah
"Ok, Bi. Chatrine sendiri aja."
Ketika Chatrine berusaha berdiri untuk mengambil kursi roda nya. Tiba-tiba keajaiban datang, kaki itu kembali melangkah, melangkah menuju masa depan yang belum dicapainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI