Mohon tunggu...
Shanan Asyi
Shanan Asyi Mohon Tunggu... Dokter -

Seorang dokter umum sekaligus penulis jurnal kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ira

14 September 2016   23:26 Diperbarui: 14 September 2016   23:42 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terdiam dalam renungan, ia duduk terpaku menatap tembok setinggi 15 centimeter itu. Entah apa yang ia pikirkan, namun apa yang terjadi membuatnya stress besar. Semua berjalan dengan cepat secepat kecepatan cahaya. Ia masih mencoba mengingat-ingat  kenapa hal yang seperti ini terjadi padanya.

Ia menginjak-injak aspal yang ia tapaki dari tadi dan kembali flash back, ia hitung momen-momen berharga itu.

Pertama pikiran dia melayang ke rumah ketika mamanya menyuruhnya untuk belanja.

“Ira, mama boleh minta tolong?”

“Minta tolong apa ma?” ia yang sedang takzim membaca buku kembali bertanya.

“Inih.” Mamanya menuju kedepannnya dan memberikan secarik kertas berisi bahan belanjaan.

“Okey ma.” Katanya sambil memberi tanda lipatan pada bukunya lalu menaruhnya ke rak buku.

Ia masuk ke kamarnya menggunakan jilbab simpel yang bisa langsung dipakai tanpa ribet, menyemprotkan parfum ke baju dan tangannya.

Bunyi pintu ditutup dan mamanya tau Ira sudah akan belanja,

                Ia melihat-lihat ke sepedanya sudah berdebu, sepertinya harus dicuci dalam waktu dekat. Ia naik kesana dan berjalan menuju pasar yang kurang lebih berjarak 3 kilo.

                Sepanjang perjalanan tidak ada yang special, hanya dilihat orang berlalu lalang melaksanakan aktivitas harian masing-masing.

                Ira merupakan seorang anak yang cerdas, entah ini turunan dari mana. Ayahnya hanya tamat SMA dan mamanya lebih rendah lagi, hanya memiliki ijazah SMP. Tapi Ira merupakan juara umum sejak kelas 3 SD hingga sekarang, kelas2 SMA. Terkadang ia menduga penyebabnya mungkin karena kebiasaannya membaca. Ia pernah mendengar entah dimana, kalau membaca akan terus meningkatkan level intelegensi seseorang karena menciptakan sinaps-sinap impuls saraf baru di otak.

                Ketika disebuah persimpangan ia berbelok ke kiri dan ia menabrak seseorang yang sedang berlari cepat dari arah yang berlawanan. Ia terjatuh. Orang itu meminta maaf bergitu juga, ira, mereka sama-sama merasa bersalah. Lalu orang itu berjalan mengambil tasnya lalu berlalu.

                Ira mengelap debu di tubuhnya dan kembali menaiki sepedanya hingga ia tersadar sesuatu. Tas mereka tertukar. Tidak ada dompet,handphone dan daftar belanjaan di hapenya yang ada hanya pisau dan bungkus rokok. Ia coba lagi melihat lekat-lekat, jelas-jelas ini tas yang dia bawa tadi. Lalu ia lihat pada tas itu tertera nama, ADI. Ya ini tas bermerk sama namun bukan tasnya. Tas mereka tertukar karena merk dan bentuk tas mereka sama.

                Ira kebingungan dan pusing harus bagaimana, ia kembali menaiki sepedanya mencoba berkeliling kompleks dengan harapan ia menemui orang tadi. Setelah 15 menit berkeliling orang itu terlihat namun gelagatnya mencurigakan. Ia seperti gelisah dan Ira melihat tasnya bergantung di bahu orang itu.

                Mas, kata Ira yang menyentuh pundak orang itu orang itu langsung menarik Ira dan menutup mulutnya. “Diam” bisik orang itu.

                Ira menjadi benar-benar ketakutan jelas-jelas tadi ia melihat pisau di tangan orang tersebut, apakah mungkin orang ini ‘begal’?

                Dan tiba-tiba bunyi suara tembakan terdengar, rasa takut Ira memuncak dia berhasil menggigit tangan pria misteritus itu lalu berteriak.

                “Siapa itu.” Terdengar suara yang serak dan berat tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

 “Dasar wanita bodoh!.” Ia menarik tangan Ira dan mulai berlari, “sepedaku.” Teriak Ira melihat sepedanya tertinggal.

                Orang itu tidak peduli dan terus membawa Ira berlari. Ia melihat ada drum dan mereka bersembunyi dibalik drum itu. Tangan pria misterius kembali menutup mulut Ira. Lalu beberapa orang dengan baju hitam dan kacamata terlihat berlari melewati mereka. Setelah orang itu lewat Ira langsung ditarik lagi menuju sebuah rumah yang terlihat seperti tidak berpenghuni. Pria misterius itu mengeluarkan kunci dari dalam sakunya dan membuka rumah itu, menarik Ira masuk.

                “Siapa kamu.” Setelah masuk ke dalam rumah ira langsung menarik pisau dari tas yang salah ia ambil dan menodongkannya.

                “tenang” katanya mencoba menenangkan Ira yang terlalu panik..

                “Mau kamu apa membawaku kesini.”

                “Aku hanya menyelamatkanmu, gara-gara kamu berteriak kita hampir mati tau!.”

                “Siapa memang mereka?”

                “Mereka gangster, dan  kamu dengar suara tembakan barusan? Mereka baru saja membunuh orang.”

“Membunuh!.”

                “Ya.”

                “Aaaaaa,” Ira berteriak kencang.

                Pria itu kembali menutup mulut ira sambil mendekapnya.

                “Jangan berteriak dulu bodoh, mereka masih disekitar sini.”

                “Ira hanya diam sambil air mata keluar.”

****

                “Aku sudah boleh pergi?” Tanya Ira yang sudah mulai agak tenang.

                “Setengah jam lagi kamu boleh pulang. Untuk sementara kita disini dulu.”

                “Boleh aku tau siapa kamu?”

                “Lebih baik aku tidak menjawab, itu untuk kebaikanmu.” Katanya sambil mengisap rokoknya.

                “Baiklah.”

                “Maaf aku salah mengambil tas.”

                “Ya itu bukan sepenushnya salahmu, kebetulan saja tas kita sama.”

                “Ya.”

                Pria itu menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Lalu ia shalat di atas sajadah yang berada di rumah tersebut. Ira makin heran siapa orang ini?”

                Setelah selesai shalat orang tersebut terlihat berdzikir. Lalu melihat ke arah Ira “sepertinya sudah aman, kamu boleh pulang. Mau ku antar?”

                “Boleh, akan lebih baik jika kamu antar.”

                “Okey.” Kata pria tersebut sambil merapikan sajadah.

                “Aku belum tau namamu.” Tanya Ira kepada pemuda itu.

                “Adi,”katanya tenang. “Kamu?”

                “ira.”

                “maaf jadi membuatmu susah hari ini Ira.”

                “Tidak apa.”

                “Ini rumahku, terimakasih ya.”

                “Ini nomor teleponku.” Katanya sambil menyodorkan kertas.

                “Buat apa?”

                “Ya mungkin kamu masih mau ketemu aku.”

                Ira mengambil itu lalu masuk ke rumah sedangkan Adi pergi menuju arah yang entah kemana.

                “Darimana saja!.” Mama datang dan kaget, langsung memeluk Irma.

                “Irma ada kecelakaan tadi mah.”

                “Kamu luka?” kata mama sambil melihat kebadan Irma.

                “Tadi ada ma tapi udah ga papa udah dikasih betadin.”

                “Syukurlah. Belanjaan kamu bawa?”

                “Enggak ma, ga sempet.”

                “Hmmm ya udah kamu istirahat dulu.” Kata Mama mencoba membuang semua rasa penasaran yang ada di benaknya.

                “iya ma.”

                Ira jalan perlahan menuju ke kamarnya membukanya lalu terbaring di kasurnya. Ia jadi ingat lelaki tadi, ada beberapa pikiran yang muncul di benak dia. Sebagai penggemar novel fiksi ia merasa apa yang terjadi dengannnya tadi mirip dengan cerita-cerita di novel fiksi yang ia baca. Keren dan cool apalagi cowok yang ia temui tadi lumayan keren. Ira mengeluarkan nomor ponsel pria itu dari sakunya dan tersenyum. Ia bangun menatap ke cermin yang berada berhadapan dengan kasurnya, membuka jilbabnya lalu melihat pantulan driinya di cermin. Beberapa detik ia terdiam hingga akhirnya ia memikirkan sesuatu. Sesuatu yang menurut dia lucu namun menantang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun