Mohon tunggu...
Shafina  C P
Shafina C P Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cara Terbaik dalam Memahami

3 Desember 2020   19:11 Diperbarui: 3 Desember 2020   19:27 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengamati, adalah salah satu cara untuk memahami objek yang kita amati. Dengan mengamati kita dapat memperoleh informasi dari objek tersebut.

Namaku Adira, aku hanya gadis biasa seperti gadis pada umumnya. Aku tidak bisa bilang kalau aku mirip mereka seutuhnya, karena aku sedikit berbeda dari mereka. Aku tipe orang yang senang mengamati, dengan mengamati aku mendapat banyak informasi, entah itu dari benda mati atau benda hidup, kebiasaan ini tidak bisa terlepas dariku.

Kebiasaan ini sudah ada sejak aku kecil. Kebetulan saat aku berumur enam tahun, Ibuku mengajakku ke rumah sahabatnya yang kebetulan memiliki anak perempuan yang sebaya denganku, Karissa. Ia sangat baik.

Saat kedua Ibu kami larut dalam pembicaraan mereka, ia akan mengajakku ke kamar dan bermain boneka. Tidak lama setelah bermain, Ibunya Karissa memanggil kami untuk makan siang. Saat itu aku hanya duduk di sofa sendirian, menunggu makan siang disiapkan. Aku tidak tahu saat itu Karissa ada di mana. Ibu memanggilku ke meja makan, aku lihat Karissa membantu Ibunya menyiapkan makanan. Kami pun makan dengan tenang.

Begitu selesai makan, aku dan Karissa bermain oper bola. Saat giliranku untuk menangkap, bola itu melambung tinggi sehingga tanganku tidak dapat meraihnya. Bola itu jatuh cukup jauh. Aku berlari dan mengambil bola itu. Saat aku hendak kembali menuju tempat aku dan Karissa bermain, samar-samar aku mendengar pembicaraan kedua Ibu kami.

"Jeng, kamu beruntung banget ya, punya anak kaya Karissa. Udah anaknya cantik, sopan, bisa ngerjain kerjaan rumah lagi."

Ibunya Karissa menanggapi dengan senyuman. "Mungkin karena Karissa sering lihat aku ngeberesin rumah. Lagian gak semua pekerjaan rumah bisa dia kerjain, cuma yang ringan-ringan aja."

"Iri deh aku. Anakku, si Adira, gak pernah bantu aku beresin rumah kalau nggak disuruh. Kerjaannya cuma maiin mulu."

"Wajarlah anak kecil kerjaannya main mulu, kan lagi umurnya. Kalau nggak, coba mintanya dengan lembut, siapa tau jadi mau." balas Ibunya Karissa.

Setelah itu, aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, lebih tepatnya aku tidak paham. Mereka terus mengeluarkan kata-kata yang tidak aku pahami, mataku terus fokus pada raut wajah Ibu. Aku tidak terlalu mengerti arti ekspresi wajahnya, tetapi di saat yang sama aku mengerti maksud dari mimiknya itu. Ibu ingin aku mengamati sekelilingku dan peka. Mungkin ini awal mula kebiasaan mengamatiku muncul.

Semenjak itu, aku membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu terlihat sangat senang aku membantunya, begitu juga denganku. Tanpa kusadari, semakin lama aku menjadi sering mengamati orang-orang yang ada di sekitarku. Gaya bicara, cara mereka menatap lawan bicara mereka, gerak gerik yang muncul tanpa disadari, dan yang lainnya. 

Hanya dengan mengamati semua itu, aku bisa memahami mereka, terutama ekspresi wajah mereka. Jika aku melakukan suatu hal dan mimik mereka berubah sedikit saja ke arah yang negatif, aku tidak akan melakukan hal tersebut. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan memperhatikan situasi terlebih dahulu. Ada keadaan di mana permintaanku tidak akan dikabulkan. Aku tidak boleh egois seperti saat aku kecil, aku harus peka dengan sekitar.

Kepekaanku terhadap sekitar semakin besar, aku bisa tahu maksud tersirat dari orang lain. Kode-kode tersirat itu bisa kupahami dengan mudah. Apa yang mereka ingin aku lakukan untuk mereka, apa yang ingin mereka katakan tapi sulit untuk dikatakan, apa yang mereka harapkan dariku, dengan mengamati mereka aku bisa tahu. Rasanya seperti membaca buku yang terbuka lebar, dengan sekali membacanya kau akan langsung tahu isi buku itu.      

Ada saat di mana aku tidak bisa memahami orang lain, tapi tidak apa-apa. Jika aku mengamatinya lebih lama, aku pasti bisa memahaminya. Semakin lama kuamati, semakin banyak informasi dan pemahaman yang kudapat.

Sepuluh tahun telah berlalu semenjak kebiasaan itu muncul. Kini aku telah memasuki SMA, masa yang paling indah kata orang-orang. Setahuku, semakin dewasa seseorang, akan banyak perubahan dalam hidup dan lingkungannya. Sepertinya itu benar. Saat SMP, memahami seseorang sangat lah mudah. Hanya perlu mengamati orang tersebut lebih lama dari biasanya, aku bisa memahami orang itu. Namun, di masa SMA ini, memahami seseorang rasanya semakin sulit, aku harus mengamati mereka lebih lama.

Di masa SMA, pertemanan dalam bentuk geng sudah biasa walau tidak berlaku untuk semua orang, ini salah satu hasil pengamatanku. Orang-orang cenderung berteman dengan orang yang rasanya cocok dengan mereka, seakan semua orang memiliki magnet mereka masing-masing.

Setiap kali kami berkumpul, aku biasanya hanya menyimak pembicaraan mereka. Jika aku paham dengan topik yang mereka bicarakan, aku akan ikut bergabung. Jika tidak, aku akan diam sambil memperhatikan mereka.

Teman dekatku di SMA ada dua orang, Luna dan Rita. Luna orang yang cukup heboh dan ceria, dia sering membahas hal yang tidak kumengerti. Saat aku bingung, dia akan langsung menjelaskan hal itu. Selanjutnya Rita, dia orang yang tenang dan tidak terlalu ekspresif, dia juga orang yang cukup dewasa. Berbeda dengan Luna yang mudah untuk dipahami, aku cukup kesulitan memahami Rita. Sangat sulit memahaminya. Padahal aku sudah berusaha mengamatinya lebih dalam lagi, tetapi usahaku percuma. Aku harus mengamatinya seperti apa untuk memahaminya?

Waktu berlalu, dan aku masih belum bisa memahaminya. Padahal dulu mudah bagiku memahami orang lain, kenapa sekarang jadi sulit?

Kala itu kami bertiga pulang bersama, kebetulan rumah kami searah. Aku masih mengamatinya sepanjang perjalanan, berusaha untuk memahaminya. Tiba-tiba saja seseorang memanggil Rita. Pria berumur sekitar dua puluh tahunan itu mendekat dengan wajah yang menunjukkan rasa bersalah, dia pasti ada urusan yang tidak mengenakkan dengan Rita.

Rita yang kutahu itu tenang, dewasa, dan tidak terlalu ekspresif. Namun, saat melihat pria itu, ia menunjukkan ekspresi yang tidak pernah kuduga. Matanya melotot tajam, rahangnya menegang, amarah terpampang jelas di wajahnya. Ini adalah sisi yang tidak pernah kutemukan dalam dirinya. Rita melemparkan umpatan-umpatan pada orang itu hingga tangisnya pecah. Aku tidak mengerti dengan situasi ini, tapi aku bisa merasakan betapa besar amarah itu ada pada dirinya. Luna berteriak menyuruh pria itu pergi, sepertinya Luna tahu masalah mereka. Tidak lama kemudian pria itu pergi meninggalkan kami bertiga.

Rita masih terisak di pelukan Luna. Akhirnya aku dan Luna mengantarkan Rita sampai ke rumahnya. Sepanjang perjalanan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin menghiburnya, tapi aku takut akan salah bicara. Aku tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang dia hadapi. Andai aku bisa memahami Rita.  

Tidak lama setelah Rita tertidur karena menangis, aku dan Luna pamit untuk pulang. Kami berpisah di pertigaan komplek. Di perjalanan menuju rumah, aku berpapasan dengan Aahva, tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Ternyata dia habis dari warung.

"Ra, lo masih pakai seragam? Abis dari mana lo pulang jam segini? Dari rumah Rita?" tanyanya.

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Akhirnya kami jalan beriringan.

"Va ... " panggilku.

"Napa?"

"Kemampuan mengamati gue kayaknya menurun deh."

Aahva sudah menjadi sahabatku sejak kecil. Saat kecil, kami sering bermain dan mengamati apa saja yang ada di sekeliling kami. Tentu saja aku yang paling antusias dalam mengamati.

"Gue ... nggak bisa memahami temen gue sendiri. Hari ini ada cowok yang tiba-tiba manggil Rita, terus Rita kelihatan marah banget ke dia, sampai ngumpatin tu orang. Padahal Rita tuh orangnya tenang. Gue nggak nyangka ternyata Rita punya sisi yang kayak gitu, padahal gue udah sering ngamatin dia."

Mendengar pernyataanku tadi, raut wajahnya terlihat sedikit masam. Apa aku salah bicara? Di mana yang salah?

 "Gue salah bicara?" tanyaku.

"Ra," ia menjeda, "apa alasan lo mengamati?"

"Kenapa nanya gitu?" tanyaku sedikit bingung.

"Jawab aja."

"Bu-buat memahami apa yang ada di sekitar gue." jawabku sedikit terbata.

"Benar, mengamati itu cara untuk memahami suatu hal, mau itu benda mati atau hidup. Tapi, Ra, jangan memperlakukan orang sebagai objek, manusia itu bukan barang yang hanya dengan diamati kita bakal ngerti. Manusia itu lebih rumit."

"Ha? Maksud lo gimana? Cara gue berarti salah ya? Terus yang benar itu yang kayak gimana?" untuk pertama kalinya aku dibuat bingung.

Ia tersenyum sebelum melanjutkan. "Gue nggak bilang memahami seseorang dengan cara mengamati tuh salah, tapi kalau caranya cuma mengamati doang itu kurang. Ada cara yang lebih baik, yaitu dengan interaksi."

"Interaksi?"

"Ya, interaksi. Gue bakal kasih contoh biar lo bisa paham. Misalnya, kita disuruh memahami rumus fisika yang ada di papan tulis, menurut lo cara yang mana yang lebih efektif? Mengamati atau interaksi?"

"Mengamati lah, kalau caranya dengan interaksi mau gimana? Masa ngusep-ngusep papan tulis? Yang ada malah kehapus."

"Benar, tapi apa lo yakin dengan mengamati rumus doang itu artinya lo paham sepenuhnya?"

"Em, kalau gue tergantung materinya apa dulu sih, tapi emang beberapa materi gue nggak paham."

"Nah, biasanya orang-orang menganggap dirinya paham dengan rumus fisika hanya dengan mengamati rumus yang ada di depan papan tulis. Tapi lo tau nggak? Ketika dia berhadapan dengan soal yang sedikit berbeda, di mana rumusnya sedikit berbeda dengan rumus yang dia tau, dia bakal kesulitan ngerjain soal itu. Itu karena dia nggak pernah berlatih dengan soal-soal fisika, kita anggap ngerjain soal fisika itu sebagai 'interaksi'. Semakin sering kita mengerjakan soal fisika, secara tidak sadar kita memahami fisika lebih dalam. Tentu kita harus tau rumus-rumus fisika. Dalam soal fisika, ada soal yang menggunakan lebih dari satu rumus. Semakin kita berlatih, semakin kita paham rumus yang mana saja yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut." terang Aahva.

"Jadi, maksud lo, selain mengamati Rita, gue juga perlu berinteraksi dengan dia kan? Tapi selama ini gue berinteraksi kok."

"Interaksi yang gue maksud berbeda sama punya lo. Maksud gue, selain mengamati, lo juga perlu inisiatif tanya-tanya soal dia. Walaupun lo tanya-tanya tentang dia biar bisa ngertiin dia, lo juga perlu gunain pengamatan lo, ada beberapa hal yang nggak bisa dikasih tau ke orang lain. Jadi, jangan maksain dia, OK? Oh ya satu hal lagi, jangan menganggap seseorang itu sama seperti apa yang lo lihat. Orang yang lo kira tangguh bisa aja orang yang rapuh, orang yang terlihat kasar bisa saja sebenarnya lembut, dan orang yang terlihat selalu ceria bisa saja sering bersedih. Intinya, tidak semua yang terlihat dari luar mencerminkan apa yang ada di dalam." Aahva tersenyum seraya mengusap kepalaku.

Aku membalas senyumannya, "OK, tapi nggak ngusep kepala gue. Gue belum keramas."

Ia langsung menarik tangannya secepat kilat. "Jorok lo, Ra! Kasih tau dari tadi kek!"

"Salah sendiri main ngusep kepala gue kayak ngusep bohlam lampu."

Besoknya, aku menanyai Rita tentang kejadian kemarin. Awalnya dia terlihat ragu untuk bercerita, aku bilang dia tidak perlu bercerita kalau dia tidak mau. Seperti kata Aahva, ada beberapa hal yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain. Namun, Rita akhirnya bercerita tentang pria itu, pria yang membuatnya trauma delapan tahun yang lalu. Pria yang ternyata dulu kakak tirinya itu sering mengurungnya di ruang bawah tanah saat orang tua mereka pergi, tanpa ada makanan dan minuman, bahkan tidak ada penerang sedikit pun pada ruangan itu, ruangan yang pengap membuatnya sulit bernapas hingga akhirnya pingsan. Akhirnya ayah kandung Rita mengetahui hal itu dan bercerai.

Aku tidak menyangka Rita memiliki masa lalu yang seperti itu. Memang benar, tidak semua yang terlihat dari luar mencerminkan apa yang ada di dalam. Rita yang menurutku dewasa dan tenang, seakan tidak ada masalah apa pun yang menghampirinya, ternyata mengalami hal yang cukup berat saat berusia delapan tahun.

Tidak semua yang terlihat dari luar mencerminkan apa yang ada di dalam. Interaksi adalah cara terbaik dalam memahami orang lain, kita bisa mengetahui hal yang tidak pernah diperlihatkan sebelumnya. Perlahan, kebiasaanku memahami sekitarku dengan cara mengamati, berubah menjadi interaksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun