Tidak lama setelah Rita tertidur karena menangis, aku dan Luna pamit untuk pulang. Kami berpisah di pertigaan komplek. Di perjalanan menuju rumah, aku berpapasan dengan Aahva, tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Ternyata dia habis dari warung.
"Ra, lo masih pakai seragam? Abis dari mana lo pulang jam segini? Dari rumah Rita?" tanyanya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Akhirnya kami jalan beriringan.
"Va ... " panggilku.
"Napa?"
"Kemampuan mengamati gue kayaknya menurun deh."
Aahva sudah menjadi sahabatku sejak kecil. Saat kecil, kami sering bermain dan mengamati apa saja yang ada di sekeliling kami. Tentu saja aku yang paling antusias dalam mengamati.
"Gue ... nggak bisa memahami temen gue sendiri. Hari ini ada cowok yang tiba-tiba manggil Rita, terus Rita kelihatan marah banget ke dia, sampai ngumpatin tu orang. Padahal Rita tuh orangnya tenang. Gue nggak nyangka ternyata Rita punya sisi yang kayak gitu, padahal gue udah sering ngamatin dia."
Mendengar pernyataanku tadi, raut wajahnya terlihat sedikit masam. Apa aku salah bicara? Di mana yang salah?
 "Gue salah bicara?" tanyaku.
"Ra," ia menjeda, "apa alasan lo mengamati?"