Hanya dengan mengamati semua itu, aku bisa memahami mereka, terutama ekspresi wajah mereka. Jika aku melakukan suatu hal dan mimik mereka berubah sedikit saja ke arah yang negatif, aku tidak akan melakukan hal tersebut. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan memperhatikan situasi terlebih dahulu. Ada keadaan di mana permintaanku tidak akan dikabulkan. Aku tidak boleh egois seperti saat aku kecil, aku harus peka dengan sekitar.
Kepekaanku terhadap sekitar semakin besar, aku bisa tahu maksud tersirat dari orang lain. Kode-kode tersirat itu bisa kupahami dengan mudah. Apa yang mereka ingin aku lakukan untuk mereka, apa yang ingin mereka katakan tapi sulit untuk dikatakan, apa yang mereka harapkan dariku, dengan mengamati mereka aku bisa tahu. Rasanya seperti membaca buku yang terbuka lebar, dengan sekali membacanya kau akan langsung tahu isi buku itu. Â Â Â
Ada saat di mana aku tidak bisa memahami orang lain, tapi tidak apa-apa. Jika aku mengamatinya lebih lama, aku pasti bisa memahaminya. Semakin lama kuamati, semakin banyak informasi dan pemahaman yang kudapat.
Sepuluh tahun telah berlalu semenjak kebiasaan itu muncul. Kini aku telah memasuki SMA, masa yang paling indah kata orang-orang. Setahuku, semakin dewasa seseorang, akan banyak perubahan dalam hidup dan lingkungannya. Sepertinya itu benar. Saat SMP, memahami seseorang sangat lah mudah. Hanya perlu mengamati orang tersebut lebih lama dari biasanya, aku bisa memahami orang itu. Namun, di masa SMA ini, memahami seseorang rasanya semakin sulit, aku harus mengamati mereka lebih lama.
Di masa SMA, pertemanan dalam bentuk geng sudah biasa walau tidak berlaku untuk semua orang, ini salah satu hasil pengamatanku. Orang-orang cenderung berteman dengan orang yang rasanya cocok dengan mereka, seakan semua orang memiliki magnet mereka masing-masing.
Setiap kali kami berkumpul, aku biasanya hanya menyimak pembicaraan mereka. Jika aku paham dengan topik yang mereka bicarakan, aku akan ikut bergabung. Jika tidak, aku akan diam sambil memperhatikan mereka.
Teman dekatku di SMA ada dua orang, Luna dan Rita. Luna orang yang cukup heboh dan ceria, dia sering membahas hal yang tidak kumengerti. Saat aku bingung, dia akan langsung menjelaskan hal itu. Selanjutnya Rita, dia orang yang tenang dan tidak terlalu ekspresif, dia juga orang yang cukup dewasa. Berbeda dengan Luna yang mudah untuk dipahami, aku cukup kesulitan memahami Rita. Sangat sulit memahaminya. Padahal aku sudah berusaha mengamatinya lebih dalam lagi, tetapi usahaku percuma. Aku harus mengamatinya seperti apa untuk memahaminya?
Waktu berlalu, dan aku masih belum bisa memahaminya. Padahal dulu mudah bagiku memahami orang lain, kenapa sekarang jadi sulit?
Kala itu kami bertiga pulang bersama, kebetulan rumah kami searah. Aku masih mengamatinya sepanjang perjalanan, berusaha untuk memahaminya. Tiba-tiba saja seseorang memanggil Rita. Pria berumur sekitar dua puluh tahunan itu mendekat dengan wajah yang menunjukkan rasa bersalah, dia pasti ada urusan yang tidak mengenakkan dengan Rita.
Rita yang kutahu itu tenang, dewasa, dan tidak terlalu ekspresif. Namun, saat melihat pria itu, ia menunjukkan ekspresi yang tidak pernah kuduga. Matanya melotot tajam, rahangnya menegang, amarah terpampang jelas di wajahnya. Ini adalah sisi yang tidak pernah kutemukan dalam dirinya. Rita melemparkan umpatan-umpatan pada orang itu hingga tangisnya pecah. Aku tidak mengerti dengan situasi ini, tapi aku bisa merasakan betapa besar amarah itu ada pada dirinya. Luna berteriak menyuruh pria itu pergi, sepertinya Luna tahu masalah mereka. Tidak lama kemudian pria itu pergi meninggalkan kami bertiga.
Rita masih terisak di pelukan Luna. Akhirnya aku dan Luna mengantarkan Rita sampai ke rumahnya. Sepanjang perjalanan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin menghiburnya, tapi aku takut akan salah bicara. Aku tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang dia hadapi. Andai aku bisa memahami Rita. Â